Catatan perjalanan ke Kyoto
Cantik sekali, luar biasa cantik, kalau Anda
berkunjung ke Kyoto, mata Anda akan terus menerus dimanjakan karena setiap
sudutnya tertata rapih, penuh warna, terkesan damai dan sangat artistik. Surga
untuk yang senang belanja, wisata kuliner, budaya, informasi teknologi dan pornografi.
One stop shopping.
Setiap kali belanja sekecil apapun barang belanjaan dan
pengeluaran Anda pasti akan dikemas sangat cantik dan mendapatkan pelayanan yang
membuat Anda merasa spesial. Setiap kali Anda membeli jajanan, sekecil apapun
nilainya rasanya seperti membeli jajanan eksklusif karena penyajiannya yang
artistik. Dulu saya melihat apapun yang ada di Jepang terutama Kyoto adalah
mimpi yang harus terwujud di negara kita, terutama tata kotanya, kemampuan mengkonservasi budaya dan bangunan-bangunan kunonya, kualitas pelayanannya serta
kecanggihan infrastrukturnya. Seperti halnya setiap hubungan, semakin dalam
Anda mengenal pasangan Anda, akan semakin melihat kekurangannya. Dulu saya
menilai bahwa Jepang dari segala hal melampaui peradaban manusia modern di
belahan dunia manapun, saat ini saya melihat banyak hal yang sangat mengerikan dibalik
semua kemasan cantik (baik itu yang sesungguhnya maupun dalam arti kiasan) dan
kemajuan di Jepang.
Berapa banyak kertas dan plastik yang digunakan untuk
mengemas, berapa banyak pohon dan sumber daya lain yang dikorbankan untuk
memanjakan konsumen dan atas nama seni. Untuk satu kotak jajanan dalam bentuk
suvenir, paling tidak ada tiga lapisan pengemasan.
Seberapa perlu menampilkan bahan makanan, terutama buah dan
sayur yang tanpa cacat, sempurna dari segi ukuran dan warnanya hingga lupa
bahwa mengejar kesempurnaan fisik adalah penyakit mental yang tidak disadari
kebanyakan dari kita semua.
Seberapa perlu manusia harus nyaman dengan segala infrastruktur
dan ciptaan teknologinya namun terlepas dari akar budaya dan kearifan lokal,
hingga untuk melihat cuaca esok haripun harus mengandalkan gadget. Bicara mengenai
prakiraan cuaca, masyarakat tradisional di pedalaman memiliki “gadget” yang
tidak kalah canggih, bunyi serangga, kondisi tanaman dan perbintangan sudah
biasa dijadikan andalan untuk memperkirakan cuaca.
Kesan yang paling sering saya dapatkan adalah keramahan
yang, hm...luar biasa, seringkali terlalu ramah hingga satu saat saya tersadar
bahwa keramahan yang terlalu itu menciptakan jarak, bahkan di tempat-tempat
yang menjajakan komoditas sekspun keramahan tetap terjaga. Awalnya keramahan
mereka adalah mentalitas yang saya yakini itu adalah proses untuk memanusiakan
manusia, namun pada penghujung hari yang saya rasakan adalah isolasi, perasaan
terasing karena ada jarak yang terlalu lebar. Sebagai turis, saya seringkali
merasakan keramahan yang luar biasa karena keingin tahuan mereka tentang
budaya asing, karena saya mau berkali kali mengunjungi Kyoto dan yang paling
menyedihkan adalah karena perasaan keterasingan mereka yang sudah terlalu dalam
dan berjarak dengan sesamanya hingga mereka lebih nyaman berbicara dengan orang
asing, membenamkan diri di dunia maya atau memilih peliharaan sebagai teman hidup.
Ketika berjalan-jalan ke satu kompleks beautification area
di Arashiyama dan Ohara (sekitar 30-40 KM dari Kyoto) kerap kali saya befikir, tempat itu cukup ramai
dikunjungi orang dan yang paling menyenangkan adalah setiap pemilik kedai menjual barang-barang yang khas
hasil produksi rumahannya, setiap orang terlihat sangat kreatif. Tempat
itu tidak sehiruk pikuk tempat-tempat lain yang setipe di negara Asia lain yang
pernah saya kunjungi. Masing-masing seolah sedang berdialog dengan dirinya
sendiri sehingga seramai apapun tetap ada keheningan. Saya memang tidak mencari
keramaian, uniknya di tempat-tempat ramai yang hening itu cukup memberikan saya
waktu untuk berfikir tentang situasi yang saya hadapi. Ada juga kesan terasing,
namun bukan kesepian, lebih dirasakan seperti anjuran untuk berkontemplasi,
saya yakin ini karena pengaruh ajaran Zen di Jepang atau mungkin itulah yang ingin saya yakini
tentang tempat itu.
Perasaan terasing dan kesepian justru sering saya tangkap di
komuter di kota-kota besar pada jam-jam padat pergi dan pulang kantor, komuter
yang sangat padat itu terlalu hening untuk ukuran saya. Saya yakin para pekerja
itu sibuk dengan pikiran masing-masing, kecuali yang datang dan pergi
berkelompok dengan teman-temannya, itupun tidak banyak, rata-rata mengantuk,
membaca buku lalu tertidur atau sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Sungguh
masyarakat canggih yang unik namun sekaligus saya menangkap satu kemunduran serius
diantara mereka, ada apa dengan komunikasi antar manusia? Bahasa verbal seolah
jarang sekali digunakan. Ada bagusnya juga, banyak bicara pun belum tentu baik.
Entah apakah pemahaman terhadap diri mereka dan lingkungan sekitarnya sudah
tinggi hingga diam merupakan wujud pemahaman tertinggi, ataukah salah satu
bentuk kegagalan komunikasi antar manusia, mungkin keduanya.
Bentuk komunikasi dari budaya “diam” (baik itu karena
depresi atau bagian dari proses memahami diri) di Jepang termanifestasi dari
karya seni, seni visual dan musik, mereka berkomunikasi lewat karya, sehingga
ada kesan bahwa mereka sangat terobsesi akan kemasan, tata letak, bentuk, warna
dan bunyi-bunyian. Kegilaan yang terwujud dari depresi masyarakat di sanapun
saya yakin sudah mencapai puncaknya. Saya pikir mungkin ini jauh lebih baik, diam dalam
kekacauan, namun tetap berupaya mengatasi segala kendala hidup dengan tetap
berkarya yang dapat mengisi kekosongan dan rasa keterasingan. Dengan segala kekurangan
dan kelebihannya Kyoto (Jepang) bagaikan makanan yang semakin dikunyah semakin
banyak rasa yang muncul, dan menerima bukan semata yang baik-baik saja. Belajar
dari yang lebih dulu mengalami kegagalan dan kehancuran (sosial dan ekologi)
adalah jalan pintas terbaik agar kita mau memelihara apa yang sudah ada dengan
jalan terbaik.
Comments
Post a Comment