Belajar dari petani yang bersentuhan langsung dengan tanah.


Ia duduk di sebelah saya ketika saya berhenti parkir sejenak di warung pinggir jalan untuk menunggu macet reda. Kami berbagi rokok kretek dan perbincanganpun mengalir, ternyata ia seorang petani asal Singaraja.
“Jadi ada bibit yang disebut bibit let/led, artinya bibit yang sudah kadaluarsa. Panen saya gagal karena samasekali tidak paham kalau bibit yang saya beli itu sudah kadaluarsa. Saya penasaran sampai saya bawa tanah saya dan bibitnya ke lab untuk diteliti dan memang tanah saya tidak bermasalah tapi bibitnya yang bermasalah. Ada banyak sekali jenis bibit dan bibit yang saya beli itu umurnya hanya empat bulan saja, harus ditanam segera ketika bibit itu keluar di pasaran, tidak dapat ditanam sepanjang tahun, saya kan rugi. Penjualnya pun kadang tidak betul-betul paham mengenai hal ini apalagi petani kecil, kami hanya menuruti mereka yang kami anggap lebih pintar.”
“PPL kadangkala lebih berperan sebagai tukang obat, petani dianjurkan untuk membeli produk ini obat itu dan nasib kami  petani kecil semakin tertekan, harga obat-obatan itu tidak murah.”
“Kami akui memang jaman dulu kami samasekali tidak perlu mengeluarkan biaya dan ketergantungan dengan segala obat-obatan pembasmi hama karena masih banyak predator alami di sawah. Sekarang predator alaminya rata-rata tidak ada, karena penggunaan pestisida. Kalau dihitung-hitung pengeluaran kami lumayan juga. “
“Bicara tentang hama, saya ingat ada satu kejadian, sawah kami diserang oleh tikus, luar biasa banyaknya, namun saya ingat pesan orang-orang dulu, tidak boleh memisuh (memaki) tikus. Ini pasti ada alasannya, akhirnya saya menyarankan petani, tikus yang ditemukan mati harus diaben, percaya atau tidak setelah upaca ngaben itu, satupun tidak ada tikus di lahan kami. Saya akhirnya mengambil kesimpulan, semua mahluk yang berada di sawah jaman dulu, walaupun itu hama pasti akan berguna bagi mahluk lain, dan kami petani tidak mampu untuk bekerja “sendirian” tanpa kehadiran predator alami maupun hama untuk keberhasilan panen kami.”
“Saya juga punya ladang cengkih, tahun ini saya tidak dapat panen, tahun kemarin saya dapat panen melimpah. Cengkih memang seperti itu, ternyata ia dengan sendirinya memelihara kesuburan tanah dengan tidak berbunga. Kami, petani dan mungkin manusia lain perlu belajar banyak dari alam dan tidak bisa memaksakan kehendak kepada alam, kalau mau hidup sejahtera.”

Comments

Popular posts from this blog

Bata Merah

Kalpanax for the WORLD!

Rindu Bali yang dulu