Di manakah gerangan wahai kebahagiaan?

 English version

Mahluk hidup memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, kalau ada yang pernah jalan-jalan ke TPA di Pulau Serangan, Bali, jangan heran jika melihat banyak sapi di sana. Tidak jarang TPA juga dijadikan tempat hunian bagi orang-orang yang memperoleh penghidupan di sekitarnya. Baru baru ini saya melihat filem dokumenter BBC bertajuk Welcome to India (http://www.bbc.co.uk/programmes/b01n8278) yang memaparkan kemampuan beradaptasi/hidup manusia diantara padatnya penduduk di India yang menempati peringkat ke-2 terpadat di dunia. Digambarkan di sana bagaimana  tiga keluarga dengan profesi yang berbeda-beda bertahan dengan keadaan dan mencari penghidupan dari hari ke hari. 


Salah satu cerita yg sangat menarik adalah sekelompok "penambang" lumpur yang setiap dini hari beraksi bersama rekan sejawatnya menguras gorong-gorong penuh lumpur, mara bahaya -karena di situ jugalah markas kaljengking, ular dan serangga berbahaya lainnya- sudah jelas bau yang mencekik hingga pagi menjelang untuk dijual kepada pengilang emas di pinggir sungai Gangga.Ternyata mereka adalah pendulang emas, yang mencari kemungkinan adanya butir-butir dan serbuk emas di setiap tumpukan debu di sudut-sudut kota hingga  genangan lumpur di gorong-gorong dan parit kota. Bagaimana mereka hidup dalam satu kamar sempit dengan 5-6 orang lainnya dalam satu bangunan kumuh yang terbilang sangat tidak layak untuk kebanyakan orang di belahan dunia lain yang lebih beruntung (?).

Pertanyaan paling signifikan dari filem dokumenter ini adalah "what is home"? Jawaban cukup mengejutkan didapat dari tanggapan-tanggapan masyarakat yang mampu hidup di bawah garis kemiskinan. Unity is strength, home is where your family are, you create your own family, you meet your brother and sister with people who crossed your path. Kebersamaan merupakan sumber kekuatan, rumah adalah di mana keluargamu berada, Anda menemukan saudara perempuan dan laki-laki diantara orang-orang yang kebetulan hadir bersimpangan dalam kehidupan Anda. Selama hampir 60 menit durasi filem yang memaparkan "kemiskinan" dan perjuangan hidup, saya hampir kesulitan menangkap kesan dingin, tersisihkan, sedih ataupun pasrah justru kesan tangguh, hangat, bijak, humoris dan kooperatif sangat mendominasi.

Filem dokumenter ini menggelitik saya untuk membandingkannya dengan interview yang saya lakukan terhadap beberapa teman yang berasal dari Bali mengenai kehidupan Bali ketika mereka kanak-kanak. Rata-rata yang saya wawancarai lahir di awal tahun 70-an (baca interview tentang Bali tahun 70-an). Gambaran kehidupan Bali tempo dulu dari beberapa catatan perjalanan penjelajah dunia, pedagang, santri, antropolog dan sebagainya hingga tahun 80-an terdengar sangat selestial dibandingkan dengan filem dokumenter Welcome to India. Bali mendapat julukan The Last Paradise. Kehidupan tahun 70-an, menurut teman-teman saya, agak susah (miskin -bukan dalam arti sebenarnya) dibandingkan sekarang, namun jauh lebih menyenangkan kala itu. Mungkin maksudnya bukan susah atau miskin, namun keberadaan di jaman itu segala sesuatunya harus didapat lewat kerja keras, lebih karena keterbatasan pada jamannya, seperti penduduk yang saat itu rata-rata tidak memiliki alas kaki, hiburan yang masih sangat sederhana, sarana transportasi yang masih sangat jarang, dan sebagainya.

Kembali lagi ke filem dokumenter India tadi, saya kemudian mendapat benang merah dari dua cerita dunia yang berbeda. Manusia dapat beradaptasi dengan segala situasi kehidupan selama ada satu hal yang dapat membuat mereka bertahan, yaitu perasaan nyaman, "at home", perasaan kebersamaan, tidak tersisihkan, membuat manusia dapat menghadapi segala tantangan hidup.

Ada kesan bahwa "kemajuan" yang dialami Bali telah meninggalkan rasa nyaman yang dulu sempat dirasakan masyarakatnya. Ada kemungkinan ini juga merupakan fenomena psikologis, di mana rata-rata orang dewasa memiliki kerinduan terhadap masa kanak-kanaknya yang membangkitkan perasaan bahagia terlepas dari keberadaan jaman. Ketika saya menanyakan pertanyaan yang sama kepada mereka yang lahir satu-dua dekade sebelum tahun 70-an, rata-rata menanggapi dengan jawaban yang sama; "jaman dulu (waktu mereka kanak-kanak) jauh lebih enak dari jaman sekarang".

Observasi belum selesai, sehingga untuk saat ini, belum ada kesimpulan pasti mengenai penyebab "hilangnya kebahagiaan" yang dirasakan rekan-rekan yang saya wawancarai.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender