Posts

Showing posts from 2014

Diam itu emas. Benarkah?

Dulu saya pernah berpendapat bahwa kehidupan para pertapa, para bikshu atau pendeta adalah hal yang sangat egois. Bagaimana tidak, mereka terlihat seolah olah tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar dirinya. Di luar sana ada banyak ketimpangan sosial, kemiskinan, kekerasan, perusakan alam dan sebagainya, namun para hermit ini seolah tidak bergeming atau tidak menunjukan kepedulian terhadap segala fenomena yang membuat hati kebanyakan orang bergejolak oleh amarah. Mereka justru sibuk dengan segala puja puji dan doa doa saja. Memangnya segala macam masalah bisa reda tanpa keterlibatan langsung manusia, yang dianugrahi akal budi, sehingga memiliki tanggung jawab sebagai pemelihara. Itu pendapat saya, dulu. Ketika terpanggil untuk merespon satu tragedi kemanusiaan, sesegera mungkin kita ingin melakukan sesuatu, bahkan merasa gelisah hingga frustasi ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan pada awalnya. Alih alih mengamati dengan seksama setiap variabel   dan sejarah yan...

Ignorance is a bliss. Really?

Ignorance is a bliss. Really? Kalimat ini seringkali dilontarkan, tapi saya seringkali berkerut kening ketika mendengarnya. Satu renungan panjang dibutuhkan untuk memahami apa makna sesungguhnya dari kalimat tersebut. Ada satu kejadian yang membantu saya memahami hal itu. Ini berawal dari seorang teman yang saya temui dan saya bercerita padanya tentang isu seputar pertanian dan lingkungan hidup.  Ada banyak hal dan informasi yang tidak sampai ke masyarakat luas, termasuk masyarakat yang berpendidikan sekalipun. Saya mengemukakan tentang jahatnya satu perusahaan makanan ringan yang memiliki konsesi lahan untuk perkebunan sawit. Bagaimana perusahaan tersebut merampas hak hidup masyarakat adat (dan membasmi ekosistem hutan tersebut)   yang dari generasi ke generasi merupakan penjaga hutan hujan, paru paru dunia. Perusahaan makanan ringan itu hanya satu dari ratusan kasus lain yang serupa, yang ada di sekitar kawasan yang sama di Sumatera. Belum lagi saya ceritaka...

Diskotek, Pineal Gland dan Bunuh Diri Masal

DA : Di Banjarmasin itu ada diskotik besar sekali, mirip kayak Stadium di Jakarta. Aku heran banget kenapa diskotik itu harus sebegitu gelapnya, maksudku bukan masalah lightingnya, tapi apa ya, rasanya tempat itu gelap sekali. A : Haha, what do you expect, segerombolan orang dengan niat tertentu, yang waktu itu mungkin auranya lagi gelap, energinya lagi negatif, berbondong bondong datang ke satu tempat yang jadi wadah niatnya itu. Pasti gelap lah semua jadinya, gak cuma lampunya aja yang remang-remang. Hehe DA: Hehe, di dalam asapnya (rokok) gila sekali, aku keluar karena gak tahan, lucunya, keluar dari diskotik juga ketemu asap dari kebakaran hutan. Itu gila itu haha.  A: Kalau orang Yahudi dipaksa Nazi masuk ke gas chamber, ini orang di sana (yang masuk diskotik di Banjarmasin) dengan suka rela bunuh diri masuk ke “gas chamber”, haha. Baguslah, buat mengurangi jumlah populasi penduduk juga. A: Ngomong-ngomong populasi penduduk, aku pernah baca artikel tentang...

Kosong

Suatu hari, saya tiba tiba merasa bahwa ada sesuatu yang absen dalam hidup saya, justru ketika saya merasa sudah memiliki “segalanya”.  Apa? Pasangan hidup? Hahhaa…pencarian hidup saya tidak sesederhana itu. Saat itu saya pikir yang absen adalah perasaan berarti bagi orang lain. Mungkin bagi yang sudah berkeluarga, perasaan berarti diharapkan datang dari belahan belahan jiwanya. Namun apakah hanya sebatas itu? Apakah hidup hanya berfokus di lingkup sekecil itu tanpa berinteraksi dengan kelompok manusia yang lainnya? Bagaimana akan menjadi betul betul berarti bagi keluarga jika fokus pemenuhannya hanya pada kebutuhan diri saja, termasuk keberadaan lingkungan di luar itu hanyalah bagian dari pemenuhan, tidak lebih. Saya rasa bukan perasaan berarti seperti itu yang saya inginkan. Lalu kita harus bagaimana? Kita harus berbuat sesuatu! Sesuatu apa? Mau apa? Entahlah, pokoknya harus berbuat sesuatu. Mari kita…! (isi dengan apa saja yang dianggap penting, perlu, terlihat penting...

Moon River (is the beginning of blood red rivers)

Baru baru ini saya melihat filem klasik bertajuk Breakfast at Tiffany’s yang dibintangi oleh Audrey Hepburn (berperan sebagai Holly Golithly/Lula Mae). Bagi pencinta filem klasik dan pemuja kecantikan klasik, sosok Audrey Hepburn pastinya tidak asing lagi. Begitupula bagi  pencinta fashion, dan saya yakin para Chanella berkiblat pada sosok “wanita setengah dewi” yang satu ini dalam filem tersebut. Apakah saya akan merekomendasikan filem ini untuk ditonton?  Filem ini cukup menarik untuk ditonton bagi mereka yang berasal dari desa/kota kecil dan pernah berkeinginan hidup di kota besar. Sepanjang menonton filem ini saya kerap tertawa geli dan cukup menangkap pesan bahwa memang filem ini sedang ingin menertawakan gadis desa yang dulu lugu dan memiliki keinginan mengecap gemerlapnya kota New York. Kekonyolan demi kekonyolan itu diungkap secara subtle dalam setiap scene . Pesta, perhiasan, baju-baju yang indah, orang-orang kaya, gedung bertingkat adalah hal-hal yang memikat...

Euforia orang-orang miskin

Definisi kelayakan hidup saat ini lebih cenderung pada gaya hidup, bukan lagi berfokus pada kondisi lingkungan yang lestari, yang artinya cukup air bersih, tanah tidak terkontaminasi, udara yang bersih dan pemandangan yang indah adalah keniscayaan jika tiga hal tadi masih terjaga. Definisi layak yang menyesatkan bisa dilihat pada majalah - majalah lifestyle, sekalipun menampilkan kehidupan di pantai atau tempat-tempat yang alami dan enak dipandang mata, semata mata masih pada level eksploitasi dan privatisasi tempat-tempat yang masih alami, kemudian dimodifikasi dengan tambahan hunian atau tempat istirahat yang dianggap mewah atau beradab, kemudian dikomersilkan.  Untuk mencapai hidup “layak”   dan nyaman seperti pandangan umum yang beredar saat ini, sudah pasti memerlukan lebih banyak pengorbanan dan uang. Memang banyak sekali yang dikorbankan demi hidup yang layak dan nyaman, bahkan termasuk keselamatan hidup manusia itu sendiri. Contoh, beberapa properti mewah terl...