Moon River (is the beginning of blood red rivers)

Baru baru ini saya melihat filem klasik bertajuk Breakfast at Tiffany’s yang dibintangi oleh Audrey Hepburn (berperan sebagai Holly Golithly/Lula Mae). Bagi pencinta filem klasik dan pemuja kecantikan klasik, sosok Audrey Hepburn pastinya tidak asing lagi. Begitupula bagi  pencinta fashion, dan saya yakin para Chanella berkiblat pada sosok “wanita setengah dewi” yang satu ini dalam filem tersebut.

Apakah saya akan merekomendasikan filem ini untuk ditonton?  Filem ini cukup menarik untuk ditonton bagi mereka yang berasal dari desa/kota kecil dan pernah berkeinginan hidup di kota besar.

Sepanjang menonton filem ini saya kerap tertawa geli dan cukup menangkap pesan bahwa memang filem ini sedang ingin menertawakan gadis desa yang dulu lugu dan memiliki keinginan mengecap gemerlapnya kota New York. Kekonyolan demi kekonyolan itu diungkap secara subtle dalam setiap scene. Pesta, perhiasan, baju-baju yang indah, orang-orang kaya, gedung bertingkat adalah hal-hal yang memikat Holly, sang gadis desa yang dulu lugu. Holly adalah nama-kota Lula Mae (nama ini adalah tipikal nama gadis desa di Amerika) dan bukan hanya nama, bahkan aksen kental kampungnya juga “berhasil” dihilangkan. Holly adalah pemimpi besar. Ia bermimpi hidupnya akan menjadi lebih bahagia jika ia berhasil menikah dengan orang kaya, karena tidak ada yang lebih mendamaikan hati seorang gadis dari melangkah turun dari taksi menuju toko perhiasan besar Tiffany’s karena ia mampu membeli perhiasan manapun yang ada di Tiffany’s.


Dalam hati, saya ingin sekali noyor perempuan ini, dia pasti tidak tahu bahwa permata dan berlian yang dijual perusahaan besar berasal dari wilayah konflik yang tidak jarang rentan perang saudara, seperti di Siera Leon. Oh, well, dulu saya seperti itu, senang sekali keluar masuk toko perhiasan (toyor diri sendiri).


Holly aka Lula Mae adalah satu dari jutaan gadis yang terjebak iklan kota besar yang memang membutuhkan orang-orang dengan mimpi “besar” akan meraih kesuksesan dan kebahagian walaupun awalnya harus rela mencium asap knalpot, tinggal di apartemen kecil dan terpaksa sarapan kopi dan donat murahan. New York, baginya adalah tujuan, tempat paling indah yang memungkinkan mimpi besar terwujud dan harus dikunjungi orang-orang terdekatnya, bahkan gadis seusianya harus datang dan melihat New York dengan mata kepala sendiri.


Bayangkan filem ini dibuat tahun 60-an, dan pastinya efek demonstrasi dari orang-orang macam Holly sudah menciptakan satu sistem yang pekat tapi cacat, yang menjadikan kota besar tumbuh sebagai jantung pergerakan perekonomian. Wah kok jauh ya dari filem Breakfast at Tiffany’s ke masalah perekonomian? Justru di sini lah sisi yang tidak kentara, yang paling sering terabaikan, bahwa faktanya, segala gembar gembor tentang kota besar adalah bagian dari terbentuknya sistem kapitalisasi, pelemahan kemampuan daerah pedesaan, urbanisasi, terbentuknya kota-kota satelit bagi para buruh (kerah putih dan biru), hingga yang paling parah adalah pemusatan segala bentuk kekuasaan. Di mana letak Wall Street? Jantung perekonomian dunia, yang menciptakan ketimpangan di berbagai belahan dunia “yang diciptakannya”.


Sungguh, setelah saya menonton filem ini, rasanya mual sekali.


Soundtrack musik filem ini, Moon River, enak sekali didengar, awalnya, tapi saat ini saya lebih suka bersenandung dengan mengabaikan arti sesungguhnya, karena lirik ini adalah cerminan dari pemikiran yang sangat konyol.


Berikut adalah interpretasi dari lirik lagu Moon River:


Moon river wider than a mile

I'm crossing you in style someday
You dream maker, you heartbreaker
Wherever you're going I'm going your way
Two drifters off to see the world

There's such a lot of world to see

We're after the same rainbows end
Waiting round the band
My huckleberry friend, moon river
And me

”This song represents a very classic drama, that of people who leave home, which is typically a small place, to search for fame, fortune and happiness in bigger places, to never be able to return or ever feel at home anywhere. Holly herself is a tragic character, so beautiful and glamorous, surrounded by rich people and celebrities, drifting in and out of her life, always fascinated with her, never loving her. In the book she actually doesn't end up with the poor writer, they are just friends and she sends him a postcard from Buenos Aires one day, so basically she keeps drifting in these strange circles to never find home again.”  
(sumber: http://songmeanings.com/songs/view/87184/?&specific_com=73015739301#comments)

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender