Kosong

Suatu hari, saya tiba tiba merasa bahwa ada sesuatu yang absen dalam hidup saya, justru ketika saya merasa sudah memiliki “segalanya”.  Apa? Pasangan hidup? Hahhaa…pencarian hidup saya tidak sesederhana itu. Saat itu saya pikir yang absen adalah perasaan berarti bagi orang lain. Mungkin bagi yang sudah berkeluarga, perasaan berarti diharapkan datang dari belahan belahan jiwanya. Namun apakah hanya sebatas itu? Apakah hidup hanya berfokus di lingkup sekecil itu tanpa berinteraksi dengan kelompok manusia yang lainnya? Bagaimana akan menjadi betul betul berarti bagi keluarga jika fokus pemenuhannya hanya pada kebutuhan diri saja, termasuk keberadaan lingkungan di luar itu hanyalah bagian dari pemenuhan, tidak lebih. Saya rasa bukan perasaan berarti seperti itu yang saya inginkan.

Lalu kita harus bagaimana?

Kita harus berbuat sesuatu!

Sesuatu apa?

Mau apa?

Entahlah, pokoknya harus berbuat sesuatu. Mari kita…! (isi dengan apa saja yang dianggap penting, perlu, terlihat penting atau perlu).

Banyak keluarga hancur karena lepas ikatan tanggung jawab pada keluarga yang lebih besar lagi, ummat manusia, atau tidak usah bombastis, lingkungan sekitar saja. Kontribusi apa yang telah kita berikan pada kehidupan lain (yang tidak hanya manusia). Ada perasaan gusar, perasaan kosong,  bahwa di pertengahan perjalanan hidup ini ada sesuatu yang saya lupa pelajari, tapi entah apa itu.

Ada aksi, ada reaksi, setiap aksi menimbulkan reaksi, rentetan aksi menimbulkan serangkaian reaksi. Jika alam semesta selalu mencari keseimbangan, apapun hasilnya, pada saatnya, sesuai dengan perhitungan waktu alam semesta, akan tercipta keseimbangan. Jangan GR, tidak ada syaratnya bahwa peradaban manusia harus selamat ketika alam sedang menyeimbangkan diri. Lalu, apakah semua yang saya lakukan selama ini akan membuat saya siap menghadapi sang waktu?

Those who seek, will find. Saya yakin itu dan akhirnya, pada suatu hari lain setelah bertahun tahun mencari, dengan rasa damai saya bisa berteriak “eureka” dalam hati. Perasaan penuh, terlepas dari segala hiruk pikuk kehidupan di luar mikro kosmik (buana alit/diri sendiri), jika diibaratkan adalah biduk yang berlayar tenang di samudra luas yang kadang tenang kadang berombak. Kesadaran kita kadang timbul tenggelam, bagai biduk yang diterjang ombak, hambatan dan gangguan hidup datang silih berganti. Seberapa mampu kita menjaga kesadaran berada di atas segalanya .

Tugas kita di dunia ini hanya melihat, belajar, banyak melihat hingga bisa membedakan makna sesungguhnya dari segala yang hanya bisa ditangkap panca indera. Memahami kapan kesadaran itu muncul dan tenggelam dan apa penyebabnya.  Segala yang ada hanyalah ilusi yang kita bentuk sendiri. Bagaimana keluar dari ilusi hasil ciptaan kolektif ini? Perlu banyak berdiam diri. Itulah pekerjaan dan tugas yang sesungguhnya. Bagaimana melepas harapan-harapan. Bagaimana melepas keinginan untuk bercampur tangan atas kehidupan di luar diri kita. Kita akan paham siapa diri kita ketika kita sering berada sendirian, berdiam diri tanpa kepemilikan, dalam gelap, tanpa suara (kecuali suara alam).

Ketika manusia diberikan modal akal dan pengetahuan cukup untuk membaca alam (iqro), namun tidak dilakukannya karena membutakan diri atau menyianyiakan anugrahnya, itu adalah pilihan hidupnya, perjalanan spiritualnya. Yang memilih belajar pada alam, akan siap menyatu dengan alam kapanpun sang waktu “menghentikan” masa.

Kosong yang berarti hampa dan kosong yang berarti kembali ke titik nol, adalah dua hal yang berbeda, tapi kita harus melalui yang pertama sebelum paham arti yang ke dua.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender