Ignorance is a bliss. Really?
Ignorance is a bliss. Really?
Kalimat ini seringkali
dilontarkan, tapi saya seringkali berkerut kening ketika mendengarnya.
Satu renungan panjang
dibutuhkan untuk memahami apa makna sesungguhnya dari kalimat tersebut. Ada
satu kejadian yang membantu saya memahami hal itu. Ini berawal dari seorang
teman yang saya temui dan saya bercerita padanya tentang isu seputar pertanian
dan lingkungan hidup.
Ada banyak hal dan informasi yang tidak sampai ke
masyarakat luas, termasuk masyarakat yang berpendidikan sekalipun. Saya
mengemukakan tentang jahatnya satu perusahaan makanan ringan yang memiliki
konsesi lahan untuk perkebunan sawit. Bagaimana perusahaan tersebut merampas
hak hidup masyarakat adat (dan membasmi ekosistem hutan tersebut) yang dari generasi ke generasi merupakan
penjaga hutan hujan, paru paru dunia. Perusahaan makanan ringan itu hanya satu
dari ratusan kasus lain yang serupa, yang ada di sekitar kawasan yang sama di
Sumatera. Belum lagi saya ceritakan tentang hubungan antara kebiasaan kita yang
gila gadget dengan kerusakan lingkungan di Bangka Belitung akibat penambangan
timah untuk keperluan industri teknologi tinggi (produk elektronik).
Jadi ada banyak
krisis yang pada dasarnya disebabkan oleh banyaknya ragam kemudahan dan
“kebutuhan” hidup masyarakat “modern”. Ini semua karena hampir semua media massa,
terutama yang populer, dikuasai mereka
yang berkepentingan untuk melanggengkan praktek-praktek yang merusak itu. Oleh
karenanya, tidak heran jika banyak yang tidak tahu keterkaitan antara satu dan
lain hal. Kita dibuat buta sebuta butanya, karena pola pikir kita dikondisikan penguasa
media massa.
Teman saya itu hanya
menatap tanpa berkata apa-apa, sambil sesekali mulutnya ternganga dan sesekali
menggosok mukanya dengan kedua tangannya, seolah tidak menyangka bahwa
pertemuan hari itu akan membawanya ke alam realita yang tidak pernah ia kenal
sebelumnya. Mungkin ada sedikit sangsi dikeluarkan dari bahasa tubuhnya. Seeing
is believing. Oh ya? Tapi kita tidak perlu jauh jauh pergi untuk mengkonfirmasi
apakah yang saya kemukakan itu fakta atau fiksi. Saat ini kita bisa mencoba
melihat kenyataan itu lewat teknologi layar sentuh di smartphone kita, saya
bilang. Mengenai hutan hujan itu, kita bisa lihat seluas apa kebotakannya lewat
Google Earth. Jika ingin lebih mudah lagi, logika sederhana seringkali adalah
sesuatu yang paling bisa menguraikan kerumitan satu permasalahan (atau suatu
permasalahan yang dibuat seolah rumit). Jika hukum alam = hukum keseimbangan,
maka, jika ada penambahan di satu sisi, maka akan ada pengurangan di sisi lain.
Apakah yang dikurangi (dikorbankan) untuk memproduksi sekian banyak “kebutuhan”
hidup manusia?
Diujung percakapan
kami (oke, itu bukan percakapan, tapi lebih mirip monolog) dia menggumamkan
sesuatu. “Indeed, ignorance is a bliss ya”. Ha? Saya tidak paham apa maksudnya.
“Maksud gue, elo tau semua informasi ini, gimana loe bisa hidup dan menjalani
hari-hari loe dengan tenang tanpa khawatir loe nyakitin orang lain, nyakitin
orang utan yang mukanya memelas…aduh, kayaknya gue jadi gak tau mau ngapain
setelah ini, gue ngerasa serba salah. Berarti kita semua penjahat gitu? Asli gue ngerasa apa yang gue lakuin selama
ini salah semua”. Well, kamu bukan orang pertama yang merasakan hal seperti ini
ketika terpapar informasi yang serupa untuk pertama kalinya, saya bilang.
Seringkali yang jadi permasalahan, setelah tahu jalan ceritanya, akankah kita
tetap menjalani kebiasaan kita yang merusak itu
dan bagaimana upaya memperbaikinya? Pelajaran apa yang harus kita ambil
dari fenomena-fenomena seperti ini? Hal seperti ini harus disikapi, bukan dihindari.
Pastinya banyak yang bingung ketika harus
menilai ulang segala keputusan yang pernah diambil, gaya hidup yang sedang digandrungi,
pola pikir yang selama ini dianggap “sophisticated”, pandangan terhadap lingkungan
pergaulan dan oh my God, no…not those achievements please. Yes, those
achievements yang ternyata banyak diantaranya bukan achievement yang sesungguhnya, karena secara langsung atau tidak
langsung banyak ragam prestasi/pencapaian, yang syaratnya didasarkan pada pola
pikir yang salah kaprah tentang banyak hal, tidak lain hanyalah pencapaian semu yang
merusak bahkan kehidupan itu sendiri.
Ketika saya mengunyah
ngunyah lebih lama lagi kalimat “ignorance is a bliss”, saya pikir sepertinya
banyak juga orang yang salah kaprah mengartikannya, yang paling parah adalah jika
terjemahannya demikian “ah, mendingan gue gak tau dan gak mencari tau
tentang apa apa yang bikin gue gak nyaman dan setelah gue mencari tau, hidup gue
kayaknya bakal tambah susah” (kok panjang banget ya terjemahannya).
Saya langsung
memvonis, siapapun yang mempergunakan kalimat “ignorance is a bliss” untuk
menghindar dari tanggung jawab sebagai bagian atau pemicu dari satu
permasalahan, dari tanggung jawab yang memanggil rasa kemanusiaan, dari
tanggung jawab sebagai MANUSIA,
maka pada dasarnya ia adalah penjahat yang sesungguhnya, kalau bukan iblis.. Itu
namanya “willfull ignorance” atau “playing ignorance”, saya tidak tahu apa
terjemahannya dalam bahasa Indonesianya. Kalau seperti itu, berarti ignorance is a bliss
for the willful ignorants, but a disaster for other being
and their own environment. Kata lainnya adalah "happines" at the expense of other being's life.
Ketika saya melihat
salah satu masyarakat di satu tempat agak terpencil, yang sangat mandiri (masih
dapat diakses dengan kendaraan roda empat hingga 5 kilo meter sebelum masuk
perkampungan tersebut), saya terinspirasi. Mereka tidak “menikmati” listrik seperti
warga lain yang “lebih beruntung” karena daerahnya dialiri listrik sehingga
bisa menonton TV. Di daerah itu
tidak ada mall, bioskop, cafe, majalah fashion, perpustakaan yang dilimpahi
buku-buku best seller, hand phone? Mau dicolokin ke mana? Facebook? Muke lu
gile?
Terbelakang sekali ya?
Iya, pikiran kita, yang menganggap mereka terbelakang, justru terbelakang. Pikiran
kita, yang hidup diantara sekian banyak kenyamanan yang masih saja selalu
kurang, menganggap kondisi mereka yang sedemikian “off grid” adalah satu
kondisi yang memprihatinkan. Mungkin jika mereka adalah korban marjinalisasi atau pengkondisian, barulah kondisi itu memprihatinkan. Namun jika satu masyarakat secara sadar memilih gaya hidup yang "off grid", itu lain permasalahan. Saya tidak tahu mana yang lebih memprihatinkan diantara orang yang sangat cekatan menyelaraskan diri dengan alam dan yang sangat
tergantung dengan smartphone.
Hm…tiba tiba saya
ingat akan keinginan beberapa waktu lalu untuk membeli Mac Air, walaupun sudah punya notebook. Latar belakang pemikiran dari keinginan itu adalah karena logonya adalah apel yang gak habis dimakan dan
karena itu adalah sejenis "kebutuhan" untuk yang suka traveling, karena ukurannya
sangat ringan kalau saya bepergian dengan bawaan ringan, karena saya masih
harus membagi tas traveling dengan gadget lainnya dan kerena OSnya sudah pasti asli, tidak akan merepotkan jika
harus dibawa ke luar negeri dan karena
harganya adalah simbol status kelas menengah ke atas. Ya, semua itu adalah
"kebutuhan".
Ah, indeed, ignorance is a bliss.
Bisakah kita tidak berlebihan dalam mengkonsumsi? Berlebihan itu yang bagaimana? Ah...itu pembahasan panjang yang tidak akan selesai diurai, jika nurani sudah tumpul parah.
Comments
Post a Comment