Diam itu emas. Benarkah?



Dulu saya pernah berpendapat bahwa kehidupan para pertapa, para bikshu atau pendeta adalah hal yang sangat egois. Bagaimana tidak, mereka terlihat seolah olah tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar dirinya. Di luar sana ada banyak ketimpangan sosial, kemiskinan, kekerasan, perusakan alam dan sebagainya, namun para hermit ini seolah tidak bergeming atau tidak menunjukan kepedulian terhadap segala fenomena yang membuat hati kebanyakan orang bergejolak oleh amarah. Mereka justru sibuk dengan segala puja puji dan doa doa saja. Memangnya segala macam masalah bisa reda tanpa keterlibatan langsung manusia, yang dianugrahi akal budi, sehingga memiliki tanggung jawab sebagai pemelihara. Itu pendapat saya, dulu.

Ketika terpanggil untuk merespon satu tragedi kemanusiaan, sesegera mungkin kita ingin melakukan sesuatu, bahkan merasa gelisah hingga frustasi ketika tidak tahu apa yang harus dilakukan pada awalnya. Alih alih mengamati dengan seksama setiap variabel  dan sejarah yang memicu satu tragedi terjadi, kebanyakan dari kita sudah jatuh pada penghakiman. Banyak diantara kita yang bertindak gegabah bahkan dalam melakukan suatu “kebaikan”. 

Belakangan ini saya baru paham bahwa ilmu fisika itu memang nyata-nyata sangat dekat dengan keseharian kita. Bukan sesuatu yang hanya tertulis di jurnal atau buku-buku pelajaran. Ada aksi ada reaksi, namun apa sih kaitanya dengan tragedi kemanusiaan yang ada di sekitar kita?

Saya pernah tak habis pikir, kenapa para petani yang bekerja keras di suatu daerah mendapat banyak masalah, salah satunya kelangkaan air, belum lagi yang bentrok dengan aparat karena sengketa lahan. Setelah saya amati, para petani ini juga pada dasarnya rakus dan ingin menang sendiri. Perambahan hutan, perluasan areal bercocok tanam, praktek monokultur, penggunaan bahan kimia yang merusak ekosistem, apakah tidak dilihat sebagai suatu kejahatan, walaupun tidak dilakukan kepada sesama manusia lainnya secara langsung. 

Ada aksi ada reaksi, dalam konsep yang serupa disebut karma. Jika kejadiannya seperti demikian, apa yang hendak diperbuat? Untuk menolongpun kita harus mampu memiliki kemampuan berpikir dan pemahaman yang mumpuni akan satu fenomena.

Yakinkah bahwa ada ketidakadilan di dunia ini, jika alam semesta mampu menyeimbangkan dirinya sendiri. Semakin kita mengaduk samudra, semakin naik ke permukaan segala apapun yang ada di dasarnya, semakin besar riak gelombang yang dirasakan. Apakah kita senang berlayar di samudra yang tenang atau sebaliknya? 

Jangan membuat aksi yang tidak inginkan reaksinya atau tidak kita ketahui konsekuensinya, karena konsekuensi mengikuti hukum alam, hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat, bukan mengikuti kemauan kita. Pada akhirnya saya paham bahwa melihat dengan mata yang kemampuannya terbatas, berbeda dengan diam namun mampu melihat kebenaran hakiki.

Maka itu para pertapa, bikshu, pendeta hanya berupaya menyuarakan kebenaran, tidak berpihak, tidak menghakimi, dan hanya menyebarkan cinta kasih, karena hanya itu yang mendamaikan semua mahluk Tuhan, hanya itu obat dari semua kesengsaraan. 

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender