Bapak tua pemulung sampah
Setiap hari, pada jam-jam tertentu saya sering mendengar
gesekan dahan dan ranting di halaman depan kamar seperti ada orang berupaya
menjangkau buah yang tinggi dengan galah bambu.
Rupanya bapak tua pencari
bunga. Unik sekali bapak tua ini, dia
punya rangkaian gigi asli, bukan gigi palsu, yang masih berbaris rapih, manis
sekali bila ia tersenyum menyapa. Terbayang bagaimana gagahnya ia ketika muda
dulu. Bertahun tahun bapak tua ini melakukan hal yang sama. Seringkali saya
berpapasan di jalan dengannya. Topi, galah
bambu sepanjang 1,5 meter, kantung plastik dan karung plastik bekas selalu
setia menemaninya. Kadang muncul rasa iba melihat langkah
lambatnya , namun ia tidak terlihat menyesali hidup apalagi membenci apa yang
ia kerjakan. Ia selalu tersenyum sambil berjalan menyusuri halam-halaman rumah
orang, mengamati bila ada bunga diantara ranting-ranting kamboja atau kembang
sepatu. Saya berdoa, mudah-mudahan bapak tua itu tidak dilarang memungut atau
memetik bunga dari halaman rumah orang, karena bagi orang Bali, bunga adalah
kebutuhan sehari hari.
Suatu ketika saya tidak dapat membendung rasa penasaran
terhadap apa yang ia lakukan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menanyakan
banyak hal. Sebut saja namanya Pak Melem, ia bertempat tinggal tak jauh
dari kediaman saya, dan ternyata ia adalah saudara kandung dari pengusaha
pemilik hotel yang namanya tidak asing di lingkungan tempat saya tinggal. Hm…apakah tidak
ada pilihan lain baginya, seperti bekerja di hotel milik saudara kandungnya? Saya tidak habis
fikir dengan ketimpangan antara dua bersaudara ini. Lebih jauh lagi saya mengetahui, selain mengumpulkan bunga, ia juga
mengumpulkan sampah botol plastik, kardus dan kaleng minuman. Katanya "saya bekerja di tempat sampah warung Ibu M dekat jembatan sana" Setiap melihat
tumpukan sampah di halaman sebelah, saya selalu berdoa semoga ada banyak sampah
botol untuk Bapak Melem di sana. Pak Melem menambah semangat saya untuk
memilah-milah sampah, agar saya bisa sedikit memberinya kebahagiaan dengan
botol-botol plastik bekas yang berhasil saya kumpulkan. Jika saya memberinya uang, saya khawatir itu justru hanya akan melukai harga dirinya. Saya tahu betul orang seperti Pak Melem bukan tipe manusia dengan mental ingin dikasihani.
Suatu hari saya
menghampirinya di jalan dekat tumpukan sampah di halaman sebelah rumah, saya
langsung memberinya sekantung plastik besar sampah botol, ia senang bukan
kepalang, sambil meraih kantung plastik ia mengajak saya mendekat ke tumpukan
sampah. Ia meraih sesuatu, bungkusan plastik kecil dari sela-sela tumpukan sampah yang sudah dijejali semak belukar di permukaannya. Ternyata ia punya harta
karun yang ia sembunyikan di sana. Katanya sambil membuka bungkusan plastik kecil
itu, “bapak biasanya suka sembunyikan di sini kalau bapak dapat ini”, satu persatu
dikeluarkannya harta karun itu, ada kaleng minuman, ada botol minuman plastik
kecil ukuran 120ml, ada botol kaca kecil bekas minuman berenergi, itu saja
harta karunnya. Bagi dia itu sangat berharga hingga harus disembunyikan. “Satu
kaleng jenis ini yang mahal harganya” katanya sambil menunjukan kaleng
alumunium bekas minuman panas dalam yang masih mulus, “harganya bisa 140 rupiah
satunya”. Saya hanya bisa menatapnya tanpa dapat berkata-kata. Saya bertanya dalam hati, apakah saya sedang melihat malaikat saat itu, karena lebih jauh lagi setelah saya ketahui, ia mengerjakan pekerjaan itu untuk memberi makan jiwanya. Ia sama sekali bukan dari keluarga tidak mampu.
Comments
Post a Comment