Mentertawakan proses orang lain

Everybody change, things change.

Pernah berteman dengan seseorang yg "ancur" di satu almamater? Dan bertahun-tahun akademis label/predikat "ancur" itu melekat didirinya. Selang beberapa tahun setelah kelulusan, banyak yang tak menyangka ia menjadi "seseorang". 

Hm...Kenapa juga ada respon "tidak menyangka". Padahal segala sesuatu tidak luput dari perubahan, yang konstan hanyalah hukum alam.

Beberapa hari lalu saya bercakap-cakap dengan seorang teman, nona manis dengan segudang prestasi. Dalam percakapan itu kami membahas tentang "proses" orang lain.  Kedewasaan adalah pilihan, perubahan adalah pilihan. Namun kita sering tergelitik untuk menilai proses kehidupan orang lain, terutama bila orang lain tersebut menggunakan kita sebagai pembanding proses hidupnya. Istilah kerennya, orang-orang ini sedang menderita "comparison syndrom". Membandingkan, bukan hal yang negatif, bila contoh yang digunakan adalah orang-orang berprestasi atau sistem unggul yang memang patut ditiru pola "kesuksesannya", demi kemajuan diri atau suatu sistem. Sisi negatifnya adalah bila hal tersebut melulu bersifat personal dan membuat kita merasa jauh lebih buruk atau jauh lebih baik dari orang lain. Pembanding tidak harus ada untuk memicu prestasi. Duh, tonton saja deh filem Three Idiots, dan kita akan memahami bahwa prestasi diri datang dari kecintaan kita terhadap sesuatu. Nona manis ini merasa sangat gerah karena ada beberapa orang yang "menguntit" dirinya di media sosial dan "diajak" berkompetisi untuk sesuatu yang "gak jelas". Tidak habis pikirnya mengapa ada orang-orang seperti itu. 

Sistem dalam dunia akademi di banyak tempat melulu fokus pada kompetisi. Siapa bisa menempati rangking teratas, dianggap "unggul". Pola pikir ini yg mungkin tidak sadar terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, dalam setiap komunitas masyarakat sekecil apapun, terkesan ada hierarki. 

Membandingkan kualitas hidup diri dengan orang lain, perlu hanya dalam hal berbuat kebaikan sehingga membuat hidup kita lebih baik, bukan untuk merasa lebih baik, fatal akibatnya kalau jadi merasa rendah diri. Kualitas hidup erat hubungannya dengan kebahagian, dan hanya individu yang bersangkutan yang tahu apa yang membuatnya bahagia sebenar benarnya karena tujuan hidup dan sasaran pencapaian setiap orang tidak seragam.

Proses hidup seseorang dan orang lainnya pun berbeda beda, baik dari segi percepatan dan kemampuan pemahaman. Yang terbilang aneh adalah bila dalam satu kelompok umur atau satu lingkup pertemanan, atau lingkup pekerjaan, ada orang-orang yang agak "lambat" dalam memahami posisi dirinya dalam perjalanan hidup. Bisa terkesan lucu. Namun pada dasarnya ini bukan sesuatu yang harus dilihat sebagai kejanggalan atau ditertawakan. Setiap pergesekan yang ada dalam lingkup sosial, pada akhirnya adalah upaya membentuk keseimbangan. Hukum alamnya adalah, mereka yang lambat dalam berproses, dengan sendirinya akan terpelanting keluar dari "kereta" perjalanan hidup yang lebih cepat, dan akan memilih berada dalam lingkup sosial dengan kecepatan yang kurang lebih sama.

Pencapaian tertinggi seorang manusia menurut saya adalah pemahaman spiritual, karena sudah tidak lagi berfokus pada pencapaian-pencapaian semu. Pencapaian ini sudah melampaui bahkan kehidupan itu sendiri, seperti apa yang dilakukan Budha, yang ketika melakukan proses, masih berada dalam "batasan" tubuh manusia. Namun pengkultusan para Nabi yang juga masih manusia, membuat manusia lain berfikir hanya "orang-orang terpilih" yang mampu melakukan perjalanan itu. Selama itu dilakukan oleh manusia, bukan mustahil proses perjalanan itu juga bisa dilakukan oleh kita.

Pencapaian tertinggi suatu sistem adalah apabila manusia-manusia yang berada dalam suatu sistem tersebut bisa menyatakan "cukup bahagia" seperti halnya negara Bhutan yang unik karena menjadikan "kebahagian" sebagai tolok ukur dalam sistem pemerintahannya.

Hargai proses orang lain, berupaya melihat fenomena apapun secara netral, namun yang paling utama adalah, menghargai diri sendiri dan upaya keras yang sudah kita lakukan dengan tidak "menghukum" kekurangan atau ketidaksempurnaan yang kita miliki. 

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender