Tuhan hanya mengajarkan kasih sayang


Nama saya Aga, dan saya tidak tahu bagaimana saya harus menempatkan diri dalam masyakat.


Pria dan wanita. Dua itu saja jenis kelamin manusia. Ya, betul memang hanya dua saja jenis kelamin, jikalau ada yang terlahir dengan kelamin ganda, itu adalah keajaiban alam. Saya tidak akan mengatakan itu cacat lahir. 

Namun, adakalanya kita dibuat bingung dengan adanya fenomena transgender, waria, wanita tomboy dan semacamnya. Fenomena apa sih itu? Mengapa ada orang yang terlahir sempurna secara fisik rela mengutak atik onderdil aselinya? Dalam hal ini kita sudah tidak lagi berbicara tentang jenis kelamin, namun, identifikasi diri yang tidak berpatokan pada jenis kelamin. 

Masyarakat Jawa kuno mengenal tiga “jenis kelamin”; Lanang (pria), wedhok (wanita) dan wandu sebagai third gender. Ada banyak penelitian mengenai penyebab dan sejarah lahirnya third gender, namun saya lebih suka membahas mengenai mengapa kaum yang masuk  dalam kategori third gender di Indonesia memiliki perilaku yang berbeda dengan kaum third gender yang ada di Thailand.

Ketika saya berjalan-jalan di Thailand, salah satu hal yang paling menarik adalah perilaku kaum waria di sana. Banyak dari mereka yang terlihat sangat santun dan anggun. Saya  pun sering sekali menjumpai mereka bekerja di tempat-tempat umum seperti di restoran, hotel, maskapai penerbangan, bahkan ada yang berprofesi sebagai olahragawan kick boxer yang tergolong olah raga maskulin. Tidak ada bedanya dengan warga yang lain. Saya perhatikan di sana hampir tidak ada waria yang merasa rendah diri, terkucilkan atau dianggap lelucon. Di sini, keberadaan mereka cukup menarik perhatian karena kaum waria biasanya berkelakuan sangat konyol, atau di sisi lain sangat “kasar” (defensive). Saya berfikir apa yang salah? Di mana letak perbedaanya. Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, dulu waktu saya berjumpa dengan waria untuk pertama kalinya di pasar pagi, apa yang ada dalam benak saya kala itu? Serta merta saya ingat, “benda berjalan macam apa itu?” Itu dulu, waktu saya kecil.

Konsepsi saya mengenai jenis kelamin hanya mengenali jenis pria dan wanita. Dalam pendidikan keluarga saya pun tidak pernah ada penjelasan mengenai third gender. Terlebih lagi ajaran agama yang saya dapatkan tidak sampai menyinggung tentang bagaimana bersikap ketika berjumpa dengan waria. Saya yakin karena sebenarnya anjuran mengasihi sesama manusia tidak perlu menjelaskan lebih rinci lagi bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Tidak perlu lagi ada “kita” dan “mereka”, manusia adalah manusia.

Pada kenyataannya pendidikan dasar yang kita dapatkan di sekolah maupun di rumah, entah gagal atau kurang efektif sehingga keberadaan istilah third gender sangat asing di telinga, sehingga banyak diantara kita yang kurang paham bagaimana harus bersikap ketika bertemu kaum waria. Mengapa mereka harus berupaya lebih untuk diterima masyakat sekitarnya sehingga mereka harus selalu bertingkah konyol atau berdandan heboh? Mengapa kita harus merasa lebih baik daripada mereka?

Ketika suatu kelompok kecil masyarakat mendapatkan “penolakan”, maka reaksi yang ditimbulkan adalah resistensi. Mereka yang hidup, selalu ingin mendapatkan tempat yang layak dan nyaman, termasuk kaum minortas. Keberadaan kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat, jarangkali mendapatkan perhatian. Wajar saja ketika kelompok-kelompok kecil melakukan upaya-upaya tertentu untuk mendapatkan perhatian. Kelompok kecil ini akan membentuk satu komunitas dan jaringan tersendiri sebagai upaya pemenuhan hak dan kewajibannya, dengan caranya sendiri.

Pertanyaanya, apakah mereka yang berbeda merupakan ancaman? Segala sesuatu yang tidak sejalan dengan tatanan masyarakat pada umumnya, di luar kategori apapun, dianggap asing, ditanggapi sebagai ancaman. Ancaman terhadap apa? Apakah eksistensi kelompok mayoritas ternyata sangat rapuh sehingga keberadaan kelompok kecil yang berbeda harus ditanggapi sebagai ancaman?

Dengan berpatokan pada ajaran saling mengasihi seharusnya sudah lebih dari cukup, sehingga berbagai macam ulasan mengenai asal muasal, sebab musabab tidak perlu ada. Kita hanya perlu menanggapi perbedaan dengan cara yang wajar. Tidak perlu lagi merasa berhak menghukum, memberikan sangsi normatif ataupun menambah beban moril ketika yang dihadapi hanyalah sekumpulan manusia yang sedang berjuang lebih keras dibandingankan masyarakat lainnya, untuk mencapai keutuhan dalam hidupnya. Alih-alih menjadi manusia yang berguna bagi sesamanya, penolakan yang tidak memberikan tempat bagi aspirasi dan bakat pribadi mereka justru dapat memicu terjadinya PeKat (penyakit masyarakat). Dangkal sekali rasanya bila ada yang membawa-bawa bendera agama sebagai instrumen untuk mengucilkan atau menghukum. Tuhan, hanya mengajarkan kasih sayang.

Isu third gender hanyalah sebagian kecil contoh dari pengucilan terhadap kelompok minoritas atau kelompok kecil masyarakat unik lainnya. 

Tulisan menarik tentang waria yang ditulis oleh siswa SMP tahun 2010 (sekarang pasti sudah kelas 2 SMA) : http://farhatunfitriah.blogspot.com/2010/04/hasil-penelitian-tentang-waria.html


Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender