Memberi = Membunuh?


Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Maksudnya lebih baik menjadi orang yang memberi daripada meminta. Saya selalu ingat wejangan orang tua saya bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang selalu dapat memberi dan berderma kepada yang membutuhkan. 

Saya paling suka ketika ibu saya mengajak saya ke pasar, di sana saya seringkali menjumpai “orang miskin”, peminta-minta yang cacat lahir, dan anak-anak sebaya yang tidak bisa bersekolah sehingga harus menjadi kuli panggul.  Saya suka sekali ketika saya memberikan uang receh kepada mereka, ibu yang mengajarkan. Katanya orang-orang seperti itu wajib diberi sedekah, dan ada perasaan senang setiap kali saya berbuat” kebaikan” memberi receh kepada “oran-orang miskin” tersebut. Hingga menginjak usia dewasa, kebiasaan saya memberi peminta-minta tidak pernah putus,  dan sampai saya menginjak masa kuliah, saya masih sering mengunjungi pasar yang sama, bertemu dengan “orang miskin” yang sama hanya saja mereka telah beranak pinak. He? Mengapa mereka tetap miskin? 

Suatu hari saya berkunjung ke negara tetangga dan melihat billboard dengan pesan “Do Not Give to Beggars”. Why? Kasihan sekali mereka, apalagi hidup di negara  empat musim. Seringkali saya tidak sampai hati ketika harus mengabaikan peminta-minta bule yang terlihat lapar, atau kedinginan.  Saya berupaya memahami inti dari pesan tersebut dan Oh, ternyata di negara tersebut sudah terbentuk sistem yang cukup memadai untuk mengakomodasi para tuna wisma. Tidak ada alasan untuk meminta-minta karena tersedia jalur khusus untuk para dermawan memberikan sumbangannya dan ada lembaga-lembaga yang bekerja untuk menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan sehingga bantuan tidak tersebar secara sporadis dan para tuna wisma tahu kemana harus menuju .

Saya pun akhirnya belajar tentang cara memberi. Wah, memberi pun ada  syarat dan ketentuannya. Ya, ternyata ini satu hal yang sangat singnifikan untuk dipelajari.

Pernahkah Anda mengalami satu kejadian yang membuat Anda dongkol, karena orang yang Anda bantu akhirnya kerap kali mendatangi Anda, orang yang sama, tidak pernah ada  perubahan dalam hidupnya. Pernahkan Anda memberi sesuatu yang menurut Anda itu baik, namun pada akhirnya kekacauan yang terjadi.

Seorang berkewarganegaraan Singapore memiliki anak asuh, perempuan cantik berumur 5 tahun bernama Intan. Orang tua Intan bekerja sebagai buruh di suatu hotel kelas Melati 3 di sebuah desa wisata.  Intan anak yang cukup cerdas dan memiliki talenta, disekolahkan di sekolah internasional ternama tidak jauh dari tempat mereka tinggal, oleh orang tua Singapore nya. Apa yang Anda lihat dari fenomena ini? Pernahkah terbayangkan bagaimana perasaan orang tua Intan ketika ia harus menghadiri rapat orang tua. Sadarkah bahwa Intan kelak akan merasakan kesenjangan sosial dalam lingkungan pergaulannya. Apakah  akan ada perasaan malu  dan rendah diri ketika Intan memperkenalkan orang tuanya kepada teman-temannya kelak. Sadarkah bahwa bukan hanya Intan yang perlu bimbingan dalam tugas-tugas sekolahnya. Dibutuhkan bimbingan bagi orang tuanya yang tidak memiliki kapasitas untuk memahami sistem maupun situasi lingkungan sosial yang bukan dari kalangannya. Apa salahnya dengan sekolah negeri?

Tini, adalah orang tua tunggal dengan dua anak. Tini tidak memiliki pekerjaan tetap, namun ia memiliki banyak talenta dan sangat mudah bergaul, sehingga dengan kemampuan yang ia miliki ia dapat mencari pekerjaan yang cukup layak dengan sangat mudah. Kenyataannya tidaklah demikian, ia memilih jalan yang cukup meresikokan dirinya maupun kedua anaknya. Tini seringkali menjual kesusahannya kepada teman-temannya yang berlebih secara financial, dan Tini seringkali mendapatkan bantuan yang tidak sedikit, baik itu secara financial maupun dukungan bagi karirnya dari orang disekelilingnya. Sekian banyak suport yang ia terima tidak membuatnya dan kedua anaknya hidup lebih baik. Ada yang salah dari orang-orang di sekelilingnya, mereka gagal melihat bahwa yang mereka bantu bukanlah orang yang tepat, karena Tini tidak mampu mengolah semua pemberian yang ia dapatkan sehingga selalu dalam keadaan kekurangan. Orang-orang disekelilingnya merasa telah membuang garam ke lautan.

Cerita di atas hanyalah sebagian kecil contoh “salah memberi”.  Ada cerita menarik dari salah satu rekan aktivis yang mendirikan LSM yang berfokus memperjuangkan persamaan kesempatan bagi masyarakat yang termarjinalisasi. Ia memaparkan informasi kepada saya bahwa ternyata kemiskinan telah dikapling kapling oleh banyak LSM baik itu dalam dan luar negeri. Hm, apa maksudnya? Mereka telah menjual kemiskinan, dan saya baru tahu bahwa saat ini kemiskinan dapat dijadikan komoditi untuk dijual kepada CSR perusahaan besar, pemerintah negara asing, ataupun individu yang sangat dermawan.  LSM seperti ini berjuang untuk kepentingan pribadi, mengeruk keuntungan. Dampak buruk yang dirasakan adalah ketika masyarakat yang dibantu oleh LSM gadungan tersebut mengalami kerusakan mental. Bangga akan kemiskinannya dan merasa harus terus diberi, tak ada upaya untuk memajukan diri.

Hal lain yang saya perhatikan ketika saya terlibat dalam berbagai kegiatan sosial adalah jenis sumbangan buku, pakaian dan mainan anak. Buku adalah jendela dunia, tidak salah. Dapatkan Anda memahami bahwa kemampuan orang untuk menerima informasi sangat bervariasi? Informasi seperti apa yang layak dibagi kepada mereka yang tinggal di pedesaan yang miskin atau di pedalaman yang masih murni dan jauh dari dunia kapitalis? Mereka perlu buku-buku pengetahuan yang dapat membantu mereka memahami keadaan sekitarnya dan keluar dari kebodohan, bukan buku-buku yang menstimulasi keinginan yang tidak dapat mereka capai. Apa jadinya bagi Ulil, anak perempuan berumur lima tahun, berasal dari Indonesia bagian Timur dengan rambut keriting kecil-kecil dan kulit hitam manis ketika membaca buku Barbie, yang disebut cantik karena memiliki warna kulit terang, berambut lurus berbibir tipis. Pernahkan terlintas dalam benak bahwa konsepsi Ulil tentang dirinya yang cantik alami akan terancam? Banyak Ulil dewasa yang  menghabiskan uang ratusan ribu rupiah untuk rebonding dan membeli produk pemutih. Ini adalah kenyataan bahwa informasi, belum tentu dapat diolah dengan semestinya bagi kebanyakan orang.

Pakaian sumbangan diberikan secara acak, ada pakaian cantik diantaranya. Diberikan kepada seorang anak perempuan saja, karena memang hanya ada satu. Kecemburuan sosial yang tidak sengaja terbentuk. Siapa diantara anak-anak itu yang lebih berhak menerima pakaian tadi? Membentuk harapan dalam diri anak-anak lain untuk mendapatkan barang yang sama bagusnya. Begitu pula mainan anak. Apa salahnya mengajarkan mereka membuat kereta dari kulit semangka? Mainan anak yang membuat mereka lebih menyatu dengan alam dan lingkungan tenpat mereka tinggal harus menjadi prioritas.

Maka, memberilah dengan tepat, pahamilah bahwa apa yang Anda beri tidak lebih dari bekal memperbaiki kehidupan secara mandiri dan pahamilah bahwa memberi harus sesuai dengan kemampuan menerima yang diberi bantuan.  Memberi pun bukan hal yang mudah, alih-alih berderma, Anda secara tidak sadar telah membunuh karakter mereka.  Yang harus dipahami adalah bahwa kita harus pandai menempatkan diri pada posisi orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender