Kereta eksekutif bergambar naga di atas awan



Alkisah seorang pemuda tanggung bernama William Kodirun bin Kodirat bergegas menuju stasiun terdekat yang berjarak 45km dari kampungnya, Beas Akeh, yang tidak tercantum di peta, karena teman teman alumni SMAnya yang dipimpin oleh Susila Bin Yuwono sudah menunggu di stasiun Harapan Kita untuk berdarmawisata ke kota. Katanya mau lihat monumen yang terbuat dari emas dan main main ke bandara untuk lihat pesawat terbang.

Untungnya tiket sudah dibeli jauh jauh hari oleh Susila (yang memiliki julukan Seciping) lewat calo tiket dengan harga murah karena mendapat harga grup wisatawan domestik.

Sesampainya di stasiun Harapan Kita tepat jam 08.07, William Kodir disambut gegap gempita oleh teman teman yang saking semangatnya mereka sudah berada di stasiun sejak jam 5 subuh, padahal jadwal kereta berangkat jam 09.05, kata calo.

Keriuhan menyambut William Kodir hanya sejenak karena mereka sudah letih menunggu kereta yang tak kunjung datang. Akhirnya kereta eksekutif yang mulus dengan warna mencolok bergambar naga di atas awan datang, kereta itu terlihat hanya sebagian kecil terisi.

Seciping serta merta menggegas kawan kawannya untuk naik. Dia pemegang seluruh tiket teman-temannya, otomatis temannya dengan senang hati menyambut instruksi Seciping. Di atas kereta, William tidak langsung duduk, dia terkesima dengan kursi yang bisa diputar ke depan belakang, layar TV yang menampilkan wanita anggun yang menyambut penumpang baru di stasiun dan tirai jendela yang bersih dan cantik. William Kodir berpikir, akhirnya dia bisa keluar sejenak dari kejenuhan kampung Beas Akeh dengan kereta ini. Semua teman temannya sudah duduk, William Kodir pun duduk di tempat yg ditentukan Seciping. Senda gurau, tawa, harapan melihat monumen emas dan kapal terbang terus menerus dibahas, katanya buku, emas itu beratnya 50kg. Bukan main besarnya emas itu he? "Pasti paling besar senusantara, sedunia!" kata Seciping, yang belum pernah ke Tembaga Pura, apalagi ke gudang Federal Reserve Bank.

Tiga jam sudah berlalu, canda tawa berganti dengkuran, harapan berganti lapar. Kebetulan pramugari kereta sedari tadi memang rajin mundar mandir menawarkan makanan. William Kodir memesan sepiring nasi goreng, namun pramugari bilang di kereta itu tidak ada nasi goreng, dan mempersilahkan William untuk memilih makanan dalam menu. Astaga! Menu makanan apa ini, William terperanjat karena satupun dia tidak paham bentuk rupa menu yang ditawarkan, harganya pun dalam dolar. William merogoh koceknya sambil bertanya, "Mbake, ini harganya pake dolar negara mana?". Pakai dolar manapun uang Willian Kodir tidak ada artinya, akhirnya dia hanya memilih es teh manis, karena hanya itu yang dia pahami, karena ada kata "ice", "tea" dan "sweet". Sweet itu pasti gula, pikir William Kodir. Di kampung Beas Akeh banyak teh dan tebu, karena sekarang tanaman itu katanya Seciping paling banyak menguntungkan. Masyarakat yang tadinya menanam beras berbondong bondong menanam teh dan tebu.

Empat jam berlalu, lima jam berlalu, lapar, jenuh tak tertahankan, teman teman mulai gusar dan bertanya tanya pada Seciping, berapa lama lagi akan sampai tujuan. Kereta eksekutif itu padahal cepat sekali jalannya, karena eksekutif, kereta itu tidak berhenti menunggu di tiap persimpangan rel. Lain halnya dengan kereta butut yang sedari tadi terlihat harus mengalah dengan kereta yang ditumpangi William Kodir dan teman teman. Ketika berpapasan dengan kereta butut yang menunggu kereta eksekutif lewat, Seciping dan teman teman bersorak riuh menertawakan kereta-kereta butut yang mandeg sesaat.

Kata Seciping, "dasar norak, nanti juga sampai kok, kalau sudah di dalam kereta eksekutif mana mungkin nyasar, kan rel keretanya ujungnya cuma satu".

Delapan jam berlalu, William Kodir mulai pada puncak kegusaran. Ia beranjak dari tempat duduk dan berjalan jalan ke gerbong yang lain berharap bertemu pramugari cantik yang tadi menyodorkan menu untuk menanyakan beberapa hal di luar menu, uangnya hanya cukup untuk membeli sepuluh cangkir es teh manis dan dua posri makanan yang judulnya kalau tidak salah ingat Chicken Cordon Bleu. Menu yang aneh, dia pikir. Siapa juga yang mau makan ayam apa itu yang warnanya biru.

Tidak lama kemudian terlihat William Kodir berlari lari kembali ke gerbongnya, dengan muka merah menahan geram dan lapar, ia menghardik Seciping. "Lihat tiketnya! Kita mau ke mana?!, kita salah naik kereta! Ini bukan kereta yang seharusnya kita naiki!, kereta kita datang pada pukul 9.05, kenapa kamu suruh kami semua naik yang jam 08.30??!!, kan sudah ada aturannya!".

Seciping panik, apalagi teman teman yang lain, yang sudah hampir kehabisan uang karena terus menerus terpaksa membeli makanan dalam kereta yang menunya dalam dolar. Keriuhan terjadi, saling tuding dan

Silahken lanjutkan sendiri ceritanya, mau diselesaikan silahken, mau dikomentari silahken, penulis tidak akan mengintervensi kehendak dan imajinasi pembaca yang pastinya memiliki cara sendiri sendiri untuk mencapai happy ending dari skenario yang sudah terlanjur ditentuken orang lain.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender