Terjebak Ilusi (Infatuation)
Bahasa Inggrisnya bagus sekali, dalam bentuk tulisan. Ketika berbicara di dunia maya, isi pikirannya mengalir tanpa hambatan. Very attractive! I thought.
Setelah sekian lama bertukar pikiran lewat dunia maya, dan "sedikit" membuntuti profile account nya hampir disetiap kesempatan, kami memutuskan untuk merasa tertarik satu sama lain. Kira-kira sudah lebih dari setahun lamanya, kami saling memelihara pikiran tentang satu sama lain. Saling berbagi, secara sehat, karena hanya berbagi pikiran dan perasaan. Saya mulai berfikir, ah....ini mungkin yang saya tunggu-tunggu. Dia menyukai saya tanpa ada kedekatan fisik, dia menyukai opini-opini saya, dia punya ketertarikan akan hal yang sama, dan kami memandang sesuatu dari kacamata yang sama.
Suatu hari kami sepakat untuk bertemu di salah satu belahan dunia realita. Pikiran saya mulai melayang, jantung berdegup, rasanya seperti hendak bersiap-siap ke medan peperangan yang sesungguhnya setelah simulasi dan stimulasi selama setahun lebih. Map, tiket, akomodasi, buah tangan khas Indonesia, dan....ehm...sarung pengaman.
Welcome to Istanbul! "Finally I am here, to see him".
Di dalam benak sudah banyak sekali skenario akan bersikap bagai mana, berkata apa, pakai baju apa, bagaimana cara mengunyah makanan di hadapannya, berikut setumpuk harapan bahwa dia akan datang dengan kuda putihnya, berpedang panjang, dan akan mendengar kutipan puisi-puisi Lord Byron-walaupun saya tidak begitu paham literatur kuno, yang penting jika itu asing didengar telinga, sudah pasti seksi. Kadang definisi seksi saya cukup dangkal, tapi sampai sekarang saya masih sehat-sehat saja.
Tibalah hari yang dijanjikan, bukan oleh Tuhan. Saya melangkah pelan, tapi pasti. Setiap batu kerikil, rerumputan, bunga,aroma teh, terpaan angin di wajah, terlihat dan terasa sangat indah dan berwarna. Hm...pekerjaan hormon yang mana lagi ini, saya pikir. Walau bagaimanapun, saya nikmati setiap rinci perasaan yang menguasai saya saat itu. Yang paling besar adalah, harapan. Harapan bahwa dia adalah yang saya cari selama ini, harapan bahwa akhir cerita bagai filem-filem Hollywood yang saya impikan, akan terwujud, hari ini. Hari yang dijanjikan, sekali lagi bukan oleh Tuhan.
Langkah terakhir sudah tercapai, saya tahu dia sudah menunggu di sana. Restoran dengan kanopi cantik berwana hijau muda, dengan meja-meja bundar berhiaskan taplak meja putih bersin nan cantik berenda renda dihiasi bunga carnation. Sebenarnya taplak meja itu tidak berenda, tapi lusuh dan sudah sobek di bagian ujung-ujungnya. Entah kenapa hari itu restoran tua yang sudah jarang dikunjungi orang, terlihat sangat indah. Saya melihat ke sekeliling, tidak begitu banyak orang, pastinya tidak susah untuk menemukannya.
"Irma??" Seorang pria Turki berbadan tegap, menyapa saya. Saya tidak mampu memandangi wajahnya, karena dia membelakangi matahari. Ah....malaikat ku dari dunia maya. Badannya tegap. Tinggi. Mata saya masih merasakan efek silau karena menatap matahari dibelakang malaikatku. Kami duduk di salah satu meja, yang paling ujung, karena kami ingin privasi.
"Tunggu, apakah kamu Mr.Abcdz.??"
"Ya, benar, saya Mr.Abcdz"
Ada jeda, cukup lama....bahkan lama sekali. Bisu membungkan saya, hampir tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya.
Wajahnya tidak seperti yang saya angankan dan yang saya lihat dalam profile accountnya. Ada banyak perbedaan. Bahasa Inggris-nya pun terbata-bata. Pikiran asing mulai berkecamuk. Ada apa gerangan???
Saya mengeluarkan berbagai pertanyaan layaknya seorang gerilyawan memuntahkan amunisi membabi buta, "apakah Anda benar-benar Mr. Abcdz...????" Kenapa Anda kelihatan berbeda sekali, dan kenapa bahasa Inggris Anda terbata-bata? Siapa yang berbicara dengan saya selama ini?? Apakah Anda temannya? Saudaranya?
Dia tertegun, paham akan kekecewaan saya.
Moral of the story:
Seringkali kita menciptakan konsepsi/imajinasi tentang apapun atau siapapun. Ketika konsepsi/imajinasi itu kemudian menjadi energi potensial, kita sudah terobsesi dengan imajinasi/konsepsi yang kita bentuk sendiri, tentang apapun, atau siapapun. Tidak salah, ketika itu berhubungan dengan pekerjaan, kita bisa menjadi apapun yang kita pikirkan. Tapi ketika kita berhadapan dengan kehidupan, berhadapan dengan manusia lain, imaji atau konsepsi jangan sekali kali dipaksakan dalam realita. Realita sangat dinamis, berubah mengikuti hukum alam. Ketika kita masih terkungkung dengan imajinasi/konsepsi, akan ada banyak hal yang mengecewakan, baik diri kita maupun orang lain. BUT, we are the only one to blame, karena kitalah yang menciptakannya. We can create our own reality, our own, but not others. Definisi dari "infatuation".
Setelah sekian lama bertukar pikiran lewat dunia maya, dan "sedikit" membuntuti profile account nya hampir disetiap kesempatan, kami memutuskan untuk merasa tertarik satu sama lain. Kira-kira sudah lebih dari setahun lamanya, kami saling memelihara pikiran tentang satu sama lain. Saling berbagi, secara sehat, karena hanya berbagi pikiran dan perasaan. Saya mulai berfikir, ah....ini mungkin yang saya tunggu-tunggu. Dia menyukai saya tanpa ada kedekatan fisik, dia menyukai opini-opini saya, dia punya ketertarikan akan hal yang sama, dan kami memandang sesuatu dari kacamata yang sama.
Suatu hari kami sepakat untuk bertemu di salah satu belahan dunia realita. Pikiran saya mulai melayang, jantung berdegup, rasanya seperti hendak bersiap-siap ke medan peperangan yang sesungguhnya setelah simulasi dan stimulasi selama setahun lebih. Map, tiket, akomodasi, buah tangan khas Indonesia, dan....ehm...sarung pengaman.
Welcome to Istanbul! "Finally I am here, to see him".
Di dalam benak sudah banyak sekali skenario akan bersikap bagai mana, berkata apa, pakai baju apa, bagaimana cara mengunyah makanan di hadapannya, berikut setumpuk harapan bahwa dia akan datang dengan kuda putihnya, berpedang panjang, dan akan mendengar kutipan puisi-puisi Lord Byron-walaupun saya tidak begitu paham literatur kuno, yang penting jika itu asing didengar telinga, sudah pasti seksi. Kadang definisi seksi saya cukup dangkal, tapi sampai sekarang saya masih sehat-sehat saja.
Tibalah hari yang dijanjikan, bukan oleh Tuhan. Saya melangkah pelan, tapi pasti. Setiap batu kerikil, rerumputan, bunga,aroma teh, terpaan angin di wajah, terlihat dan terasa sangat indah dan berwarna. Hm...pekerjaan hormon yang mana lagi ini, saya pikir. Walau bagaimanapun, saya nikmati setiap rinci perasaan yang menguasai saya saat itu. Yang paling besar adalah, harapan. Harapan bahwa dia adalah yang saya cari selama ini, harapan bahwa akhir cerita bagai filem-filem Hollywood yang saya impikan, akan terwujud, hari ini. Hari yang dijanjikan, sekali lagi bukan oleh Tuhan.
Langkah terakhir sudah tercapai, saya tahu dia sudah menunggu di sana. Restoran dengan kanopi cantik berwana hijau muda, dengan meja-meja bundar berhiaskan taplak meja putih bersin nan cantik berenda renda dihiasi bunga carnation. Sebenarnya taplak meja itu tidak berenda, tapi lusuh dan sudah sobek di bagian ujung-ujungnya. Entah kenapa hari itu restoran tua yang sudah jarang dikunjungi orang, terlihat sangat indah. Saya melihat ke sekeliling, tidak begitu banyak orang, pastinya tidak susah untuk menemukannya.
"Irma??" Seorang pria Turki berbadan tegap, menyapa saya. Saya tidak mampu memandangi wajahnya, karena dia membelakangi matahari. Ah....malaikat ku dari dunia maya. Badannya tegap. Tinggi. Mata saya masih merasakan efek silau karena menatap matahari dibelakang malaikatku. Kami duduk di salah satu meja, yang paling ujung, karena kami ingin privasi.
"Tunggu, apakah kamu Mr.Abcdz.??"
"Ya, benar, saya Mr.Abcdz"
Ada jeda, cukup lama....bahkan lama sekali. Bisu membungkan saya, hampir tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya.
Wajahnya tidak seperti yang saya angankan dan yang saya lihat dalam profile accountnya. Ada banyak perbedaan. Bahasa Inggris-nya pun terbata-bata. Pikiran asing mulai berkecamuk. Ada apa gerangan???
Saya mengeluarkan berbagai pertanyaan layaknya seorang gerilyawan memuntahkan amunisi membabi buta, "apakah Anda benar-benar Mr. Abcdz...????" Kenapa Anda kelihatan berbeda sekali, dan kenapa bahasa Inggris Anda terbata-bata? Siapa yang berbicara dengan saya selama ini?? Apakah Anda temannya? Saudaranya?
Dia tertegun, paham akan kekecewaan saya.
Moral of the story:
Seringkali kita menciptakan konsepsi/imajinasi tentang apapun atau siapapun. Ketika konsepsi/imajinasi itu kemudian menjadi energi potensial, kita sudah terobsesi dengan imajinasi/konsepsi yang kita bentuk sendiri, tentang apapun, atau siapapun. Tidak salah, ketika itu berhubungan dengan pekerjaan, kita bisa menjadi apapun yang kita pikirkan. Tapi ketika kita berhadapan dengan kehidupan, berhadapan dengan manusia lain, imaji atau konsepsi jangan sekali kali dipaksakan dalam realita. Realita sangat dinamis, berubah mengikuti hukum alam. Ketika kita masih terkungkung dengan imajinasi/konsepsi, akan ada banyak hal yang mengecewakan, baik diri kita maupun orang lain. BUT, we are the only one to blame, karena kitalah yang menciptakannya. We can create our own reality, our own, but not others. Definisi dari "infatuation".
Comments
Post a Comment