Self Love, Industri 4.0 dan The Sixth Extinction
Kalau sekarang di
Jakarta dan kota kota besar dunia sedang sibuk bicara tentang era
Industri 4.0 pikiran saya malah melayang tentang soft skill apa yang
sebenernya dibutuhkan anak saya dan manusia lain. Apa mungkin ya,
besok besok ada software “self love” yang bisa didownload ke
otak? Software “anti-mysoginist”, software “anti-bigotry” dan
lain lainnya yang bisa mengobati dunia.
Mungkin kalau kita
semua punya self love, dunia gak bakalan rusak seperti ini. Semua
orang akan merasa enough, merasa dicukupkan, tidak ada luka batin
gegara “gak punya apa apa” atau “orang gak punya”, gak ada
luka batin karena eksistensinya ditolak karena dianggap tidak cukup
untuk dianggap sebagai manusia. Kan, orang gak bisa milih lahir jadi
alpha male dan alpha female atau lahir di keluarga sakti, berbakat
dan berguna bagi bangsa dan negara.
Cuma ya ini, self
love itu macam barang langka dan untuk dapetinnya kadang orang harus
berdarah darah dulu melewati semua luka batin dan bangkit dari
“kematian” jiwanya. Kalau kita lahir jadi orang Baduy, kayaknya
agak mendingan kali, ya. Mereka itu orang orang dengan karma baik,
menurut saya. Orang di sana sih udah ngerti gimana cara
memperlakukan alamnya, karena salah satu cara terbaik untuk
menghargai diri sendiri itu ya dengan menghargai alam sekitarnya.
Ada sedikit saran
yang mungkin saya bisa bagikan, buat adik adik yang sedang struggling
dengan self love. Kita gak perlu jadi superman atau superwoman untuk
bisa mengobati diri kita sendiri dan dunia, kita bisa lakukan dengan
hal hal kecil, seperti ini:
Menahan diri untuk
tidak memuji atau mengomentari bentuk fisik seseorang. Pujian yang
ditujukan tentang fisik seseorang, yang saya tau, juga sama merusaknya
dengan hinaan. Saya sering menyarankan orang di sekeliling saya agar
tidak terlalu sering memuji anak saya, mengomentari wajahnya, maupun
warna kulitnya. Ketika ada orang dewasa yang memuji anak saya dan
warna kulitnya, di samping anak lainnya (yang kebetulan hanya anak
saya yang dipuji), maka saya akan mengisi “kekosongan” dengan
ikut memuji anak anak lain juga. Saya merasa harus turun tangan
memadamkan perasaaan tidak nyaman seorang anak kecil yang hatinya
masih bersih itu. Bayangkan, berapa banyak anak kecil, termasuk orang
dewasa, yang menyimpan luka batin karena secara fisik tidak termasuk
“special” (menurut saya kalau kita lahir sebagai manusia yang bisa manjat dinding 90ยบ tanpa
bantuan alat apapun, itu baru special. Selain itu gak usah ke ge-er an, lah.
Biasa aja). Dan itu hanya gara gara komentar komentar orang dewasa di
sekeliling kita yang, walaupun tanpa maksud menyakiti, senang
berkomentar tentang bentuk fisik dan warna kulit. Gak
penting banget.
Mempertanyakan
dan mendefinisikan kembali arti kata sukses dan
kebahagiaan. Yang punya
hak untuk menentukan tolok ukur sukses itu siapa sebenarnya? Sukses
dan bahagia itu artinya
apa? Punya lebih banyak? Mengumpulkan paling banyak? Apa yang diambil
dari orang lain? Bagaima cara mengambilnya? Kenapa kita tidak
bertanya pada diri kita
sendiri dan anak anak kita,
apa yang membahagiakan
diri kita. Beban
yang diletakkan pada pundak kita, oleh orang tua atau society, tanpa
sepertujuan kita, menjauhkan diri kita dari hal hal yang
membahagiakan kita. Kalau kita tidak “sukses” lalu kita tidak
mungkin bahagia? Kita semua harus punya keberanian untuk break the
pattern dan unlearn hal hal yang, kebanyakan menurut saya dogmatis.
Dogmatis itu gak hanya ada di dalam penyebaran agama, tapi juga dalam
penanaman konsep konsep lainnya, seperti konsep sukses dan bahagia.
Berhenti mengejar predikat pintar. Kita itu terlanir jenius, tapi orang tua dan masyarakat sekitar yang men-downgrade kejeniusan menjadi hanya sekedar pintar. Dunia sudah penuh orang orang pintar, banyak orang jenius tidak dihargai. Orang pintar hanya membuat kerusakan di dunia ini. Keputusan yang diambil sifatnya human centric, pola pikir instan, tidak paham konsep keberlanjutan. Karena pola seperti ini sudah berlangsung selama berabad abad, maka kita tidak sadar, apa yang sebenarnya sedang terjadi, apa yang sedang kita perbuat.
Berhenti mengejar predikat pintar. Kita itu terlanir jenius, tapi orang tua dan masyarakat sekitar yang men-downgrade kejeniusan menjadi hanya sekedar pintar. Dunia sudah penuh orang orang pintar, banyak orang jenius tidak dihargai. Orang pintar hanya membuat kerusakan di dunia ini. Keputusan yang diambil sifatnya human centric, pola pikir instan, tidak paham konsep keberlanjutan. Karena pola seperti ini sudah berlangsung selama berabad abad, maka kita tidak sadar, apa yang sebenarnya sedang terjadi, apa yang sedang kita perbuat.
Lebih baik kita puji ketika anak kita berbuat kebaikan, rajin, jujur dan mau berusaha. Sebenarnya kita lebih banyak butuh orang pintar, orang cakep atau orang baik di dunia ini? (butuh semuanyaaa, kan ada yang udah pinter, cakep, baek pula). Seandainya kita memfokuskan diri pada hal hal signifikan, mungkin kita tidak perlu pusing dengan segala macem krisis yang diakibatkan oleh populasi manusia yang bakalan mencapai 8 miliar sebentar lagi. Kapan orang akan berhenti menghabiskan waktunya untuk fokus pada penampilan fisik. Ini penyakit jiwa yang gak cuma diderita kelompok non alphamale atau non alphafemale, ya. Bahkan, manusia yang masuk dalam kategori alpha alpha-an (ha, apa apa an?) juga bisa kena penyakit minder. Comparison syndrome yang jadi penyebabnya. Alpha yang satu dibanding bandingkan dengan alpha lainnya. Hal paling jahat yang kita lakukan terhadap diri kita sendiri adalah membandingkan diri kita dengan orang lain. Apalagi mbanding bandingin orang di luar diri kita sendiri. Gak cuma banding bandingin fisik, tapi juga kepintaran (macam bandingin lumba lumba vs orang utan). Sebenarnya siapa sih kutu kupret yang jadi biang kerok semua huru hara ini?
Kenapa,
sih, bentuk fisik tertentu jadi dianggap unggul atau menarik. Kamu
tahu dalam dunia kucing
domestik atau anjing domestik, terlahir lucu merupakan hasil
evolusi. Cara mereka bertahan dalam hidup ya seperti itu. Seolah ada sesuatu dari langit berbunyi "percuma
jadi kucing atau anjing kalau gak lucu, gak akan diadopsi". Manusia
juga begitu, makin cakep, peluang untuk cari pasangan dan mating
dengan mulus semakin besar.
Mungkin
ada yang belum tau, kalau misi utama DNA kita itu hanya untuk
menduplikasi dirinya sendiri. Jadi segala urusan terkait reproduksi,
selalu jadi topik penting. Rata rata manusia melengkapi
dirinya dengan segala
amunisi dan mendandani dirinya dengan
segala pernak pernik yang
semata dibutuhkan untuk mereproduksi dirinya. Itu kalau kita gak
punya kesadaran, ya. Jadi cenderung disetir otak reptil. Mikirnya gak
jauh jauh dari urusan
selangkangan. Segala perilaku kita disetir
hanya untuk melayani kepentingan reproduksi. Semakin tipis kesadaran
kita, semakin kita ahli dan
cenderung hanya berfokus pada urusan mating (ini
berlaku pada semua orientasi seksual).
Sekalipun sudah beranak pinak, maka kita akan secara tidak sadar
menanamkan nilai nilai pada keturunan
kita, agar “gimana
caranya kamu bisa menarik buat dibuahi dan membuahi manusia lain”
instead of, “gimana caranya kamu mencintai
diri sendiri dengan menghargai alam sekitarmu”.
Sebentuk
pola pikir bergulir semakin menjadi jadi macam efek bola salju. Lalu,
manusia manusia yang perilakunya disetir otak reptil (hanya fokus
pada pemenuhan kebutuhan biologis dan survival, seperti “gimana
caranya bisa mating dengan sukses” - dengan
segala macam rephrase-nya)
kemudian membentuk suatu sistem yang di
dalamnya berkembang suatu
pola pikir tertentu dan pengikutnya
adalah orang orang bingung, yang gak cuma merusak dirinya sendiri,
merusak konsepsi diri, konsepsi keberadaan diri (lack of self love) tapi
juga merusak segala infrastruktur yang menjadi ruang hidupnya
sendiri. Ini bukan ngomongin infrastruktur seperti MRT atau jalan
toll, ya. Tapi infrastruktur kehidupan, meliputi tanah, air dan udara
serta ekosistem di dalamnya.
Jadi
kenapa, saya pikir, kalau mau hidup di era Industri 4.0 atau mau
balik lagi ke jaman batu, self
love itu penting banget. Itu menghindari DNA (berisi segala
informasi dari jaman nenek moyang kita cuma bersel satu) yang egois terduplikasi. Yang
seperti itu hanya menggandakan populasi yang mindless, dalam hal
apapun, yang pada
akhirnya hanya mempercepat kepunahannya sendiri. Tapi ini mungkin sudah dirancang oleh semesta, ya. The Orchestra of Sixth Extinction is taking its place. Tapi alangkah indahnya jika kita menonton orkestra ini dalam keadaan awaken, sadar diri, dan sudah punya bekal hidup yang penting sepanjang jaman seperti self love.
Semoga evolusi yang akan terjadi selanjutnya setelah The Sixth Extinction melahirkan kucing dan anjing yang tidak hanya imut, tapi juga punya self love, keberanian, kejeniusan dan kerendahatian.
Semoga evolusi yang akan terjadi selanjutnya setelah The Sixth Extinction melahirkan kucing dan anjing yang tidak hanya imut, tapi juga punya self love, keberanian, kejeniusan dan kerendahatian.
Comments
Post a Comment