Surga di antara gedung pencakar langit


“Hey, aku di sudah di Hongkong sekitar sepuluh harian, kamu bisa datang kapan aja kalau mau” kata Yas kepadaku ketika kami berbincang-bincang di messenger. Hm…Hong Kong, tidak begitu menarik perhatianku, gedung bertingkat di mana-mana, massive, kaku, dingin. Tapi dari deskripsi temanku tentang tempatnya tinggal di pulau Lantau itu terkesan seperti dalam mimpi. Kupu-kupu di mana-mana, hijau di mana-mana. Saat itu aku berada di Bangkok dan di Bangkok sudah tidak ada lagi yang membuatku bisa betah lebih lama lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung ke pulau Lantau. 


Aku menginap di Kowloon setibanya di Hong Kong dan memutuskan untuk segera berangkat ke Lantau setelah check in. Sial, tiba di Lantau terlalu sore, hari sudah menjelang gelap, tapi tak apalah toh Hong Kong tidak pernah kehabisan sarana transportasi jika aku memutuskan untuk kembali ke Kowloon malam itu. Malam pertama kami bertemu di Hong Kong kami memutuskan untuk pergi melihat hingar bingar dan lampu-lampu kota Hong Kong, norak memang, tapi kalau noraknya berdua sepertinya perasaan tidak nyaman itu bisa berkurang. “Kita tetep harus ijin dulu sama Steve, dia yang mempekerjakan aku, yuk aku bonceng naik sepeda ke atas bukit itu”. He? Atas bukit itu? Kamu tinggal di atas sana? Naik sepeda berdua? Baiklah, kalau dia pikir itu memungkinkan, aku yakin dia sudah berpengalaman mengenai hal ini.

Baru 10 kayuhan akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan sepeda malang tersebut di sebrang ATM dekat pelabuhan. “Terpaksa kita jalan, tidak apa kan?”. Ah, lebih baik begitu dari tadi, jadi aku tidak perlu sempat merasa bersalah karena naik berat badan akibat makan enak selama keliling Asia Tenggara. 


Are we there yet? Tanyaku setiap 5 menit “bentar lagi nyampe, kamu liat cahaya lampu di atas sana? Itu tempatnya”. Oh, Ok…nafas sudah tersengal sengal (Pulau Lantau itu hanya datar di sekitar pelabuhan saja, itupun hanya dalam radius 500 meter dari pelabuhan, sisanya sudah mulai menanjak) sepertinya malam itu akan turun hujan, anjing sudah mulai jadi penjaga malam yang agresif, untungnya semua anjing tidak liar, dan berada dalam halaman rumah. Akhirnya kami tiba di penghujung perumahan paling akhir, jalanan kompleks perumahan sudah berganti dengan jalan setapak yang berkelok kelok dan tanpa penerangan. Kami sudah mulai memasuki kawasan hutan. 


Hm…not bad, betul seperti yang kamu bilang ya, aku bisa bayangkan tempat ini ketika siang hari, pasti indah betul. Tidak terasa selama kami berjalan melintasi jalan setapak di tengah hutan belantara tangan kami bergenggaman sangat erat, namun tidak satupun dari kami yang ingin membahas mengapa kami harus berjalan bergandengan tangan walaupun lebar jalan setapak itu cukup untuk kami berdua berjalan agak berjauhan. Kami berjalan dengan pandangan mata lurus atau menunduk mengamati jalan setapak, enggan rasanya melihat kiri kanan kami, belum lagi kami harus melewati bangunan-bangunan kosong, reruntuhan bangunan yang terkena sinar bulan, dan rumpun bambu yang kadang terlihat seperti siluet orang memanggil kami. Aku berupaya membuat percakapan sesering mungkin, untuk menutupi kegelisahan akan gelap, ular besar, binatang berbisa lainnya, terpeleset ke jurang karena licin, srigala (yang ini memang terlalu mengada ada, saya menyesal telah beberapa kali menonton filem Twilight, tidak ada gunanya sama sekali) atau hal-hal lainnya yang mengkhawatirkan. Penglihatanku jauh lebih tajam jika hutan itu betul betul dalam keadaan gelap tanpa cahaya setitikpun, tapi ternyata setiap 500 meter, terdapat penerangan redup itupun sudah tertutup dahan-dahan berdaun lebat. Sial betul, jauh lebih baik gelap sama sekali, penglihatanku jadi tertanggu dengan pencahayaan yang tidak konsisten itu. 


Ah… akhirnya kami sampai juga di rumah di atas bukit. Yas, apa ini rumah yang paling tinggi di pulau ini? “tidak, masih ada beberapa rumah lagi di atas sana, yang tinggal di sana masih ada hubungannya juga dengan organisasi kami”. Oh ya? Fiuuhh…ini saja untuk mencapainya sudah butuh perjuangan. Ternyata resep untuk bisa menembus perjalanan dalam kegelapan dan rerimbunan hutan adalah membicarakan mantan kekasih. Lebih menguras perhatian dan energi dibandingkan adrenalin yang muncul dari takut akan kegelapan, anjing liar, bianatang berbisa dan jurang yang licin. 


Steve, lelaki berkebangsaan Australia adalah pria jenaka, dengan mata kekanakan yang masih terjaga di usianya yang setengah abad. Ia adalah salah satu Green Warrior yang menyebarkan semangat permaculture di berbagai belahan dunia. Kami berbincang bincang sejenak, Yas memperkenalkanku sebagai salah satu calon murid yang akan membantunya dalam kelas permaculture. Perbicangan berlangsung semakin seru namun akhirnya aku harus mengingatkan bahwa kami harus mengejar ferry terakhir ke kota, dan kami hanya memiliki sisa waktu 30 menit untuk berjalan kembali melewati hutan gelap dan menghadapi kemungkinan hujan lebat. Kami bergegas ke kota dengan restu dan sedikit uang saku dari Steve.


Sudah kuduga, tidak ada hal spesial yang dapat aku ingat tentang perjalanan kami ke kota malam itu, namun esok lusa adalah hari yang aku tunggu karena kami akan kembali ke Lantau. Steve sudah menunggu kedatangan kami di salah satu restoran langganan kami di dekat pelabuhan, restoran milik pria berkebangsaan Israel  yang cukup menguras kantong, namun kami tidak terlalu peduli karena pemilik dan karyawan restoran yang rata-rata pria itu cukup enak dipandang mata, cukuplah jatah cuci mata tiga hari sekali. Namun kami kadang ragu apakah kami bisa bergenit genit ria di hadapan mereka, karena…ah sudahlah gaydar kami memang tumpul. Kami berbincang bincang cukup lama di restoran tersebut, tanpa disadari waktu berlalu dan kemudian memutuskan untuk bergegas naik ke bukit sebelum gelap dan hujan turun. Begitulah di Lantau, cuaca terutama typhoon di bulan-bulan tertentu membatasi keasikan kami untuk nongkrong berlama-lama di pelabuhan dan pantai yang menjadi pusat sebagian besar kehidupan bersosialisasi di sana. Aku tersadar dengan koper bawaanku dan mulai panik, bagaimana caranya menarik koper dengan beban 30 kg ke atas bukit tanpa alat bantu. Steve menyarankanku untuk menyewa sepeda selama tinggal di sana, dan akhirnya kami pergi menuju penyewaan sepeda. Hm ternyata memang rata-rata sepeda di sana memiliki tali fleksible untuk mengikat barang bawaan. Bodoh, kenapa hal itu baru terpikirkan, padahal itu logika paling sederhana. 


Steve menawarkan dirinya untuk membawakan koper di belakang sepeda gunungnya yang lebih lincah, setelah melihat pilihan sepedaku yang terlalu kemayu untuk menempuh bukit dengan kemiringan yang cukup membuat nafas tersengal sengal dan berkelok kelok. Ia benar, sepedaku terlalu kemayu, tidak dapat dikayuh jika menemui tanjakan curam. Sepanjang perjalanan aku menjadi beban karena setiap 5 menit harus turun dari sepeda dan mendorong sepeda.


Kami tiba di pertengahan bukit dan sepeda kami diletakkan di salah satu pekarangan datar di rumah dekat ladang permaculture kami. Sisanya kami harus jalan kaki menapaki puluhan anak tangga ke rumah, untung saja Steve masih mau berbaik hati membawakan koperku. Koper itu warnanya pink, beberapa kali kami berpapasan  dengan teman-temannya sepanjang perjalanan menuju rumah dan perhatian mereka langsung tertuju pada koper pink yang ia bawa. “Is that yours, Steve?” “Of course it’s mine, what do you think?” katanya berkelakar, tapi ada sedikit kesal yang kutangkap darinya karena mungkin ia pikir mengapa pink itu tidak cukup macho untuk dirinya yang mantan anggota pasukan perdamaian PBB. 


Kami bertiga tinggal bagai keluarga bahagia di satu rumah mungil di atas bukit, hampir di posisi tertinggi di pulau itu. Yas mengambil peranan sebagai juru masak, setiap hari ia memasak makanan yang enak-enak, aku pikir kalau saja setiap keluarga tinggal di tempat sederhana seperti ini dikelilingi pemandangan indah dan kulkas penuh dengan stok makanan, untuk apa gunanya bepergian ke luar rumah terlalu sering. Baru saja aku menempati tempat seperti ini, aku merasa cukup terpenuhi dan bahagia berada di sini. 


Rumah mungil ini dilengkapi dengan, hm…lebih tepatnya rumah ini penuh dengan modifikasi seadanya, cukup berantakan dan menganggu penglihatan bagi mereka yang sangat mengagung-agungkan estetika dan tata letak, namun tempat ini sangat fungsional. Tempat cuci piring kami adalah tempat cuci piring paling eksklusif sedunia, menurut kami. Letaknya di ruangan terbuka, terbuat dari meja kayu sederhana yang sudah lapuk karena lembab. Panjangnya sekitar 150 cm dan lebar 40 cm. Dua puluh senti dari meja tersebut sudah jurang, tempat kami membuang makanan sisa, sebelum membuang sampah makanan ke jurang, kami selalu berguman “kompos!”, maksudnya mudah-mudahan bumi menerima sampah itu sebagai berkah, bukan polusi dari kegiatan manusia di sana. Pemandangannya, jika property semacam ini ada di Bali, mungkin bernilai jutaan dolar. Jadi aku mencuci piring sambil terkekeh, betapa konyolnya orang yang menciptakan ide bahwa hal seperti ini harus dikapling kapling, ditandai sebagai kepemilikan pribadi, dan dikomersilkan. 


Yang paling aneh adalah struktur dapur yang dijadikan satu dengan toilet hanya dibatasi dengan tembok penyekat. Aku tidak habis pikir apa yang melatar belakangi ide tata letak semacam ini, apakah rutintas jaman dulu adalah masak-masak, makan-makan di dapur dan beberapa detik kemudian tidak tahan untuk buang air, atau bahkan makan sambil buang air? Betul betul tidak habis pikir. Walaupun demikian kami terima keadaan rumah itu apa adanya, lagipula ternyata memasak di dapur itu menjadi hal yang menyenangkan, bagi yang ingin mandi ataupun buang hajat sambil ditemani karena takut sendirian. Di dalam kamar mandi itu tergeletak parang, setelah kutanya Steve untuk apa parang tersebut, ternyata itu fungsinya untuk melindungi diri dari ular berbisa atau ular besar karena dapur dan kamar mandi tersebut sangat terbuka dan bangunannya terpisah dengan bangunan utama. Awalnya aku pikir parang itu untuk potong kayu bakar, atau potong ayam. 


Baiklah, satu hal lagi yang aku harus persiapkan, mental waspada dan kemampuan berteriak sekeras mungkin. Biasanya kalau aku buang air besar, seringkali sambil mainan HP, saat itu benar-benar bukan waktu yang tepat, walaupun sekadar untuk menyetel lagu-lagu pengusir takut jika harus buang air besar di malam hari. Nyamuk di hutan pastinya gemuk gemuk, dan kapanpun aku harus ke kamar mandi, obat nyamuk jadi teman paling setia. Sebisa mungkin aku tidak terlalu banyak minum di malam hari agar tidak harus berjalan ke luar rumah untuk menuju kamar mandi yang letaknya di luar rumah, walaupun hanya beberapa langkah, aku yakin hutan penuh dengan kejutan. Suatu hari aku menemukan ulat bulu terbesar sepanjang sejarah pergaulanku dengan ulat bulu. Panjangnya 15 cm, tebalnya seibu jari kanan (ibu jari kanan biasanya lebih besar daripada yang kiri, kecuali kamu kidal, coba deh perhatikan). Itu saja sih kejutan terheboh yang aku jumpai di sana.


Suasana sehari hari di atas bukit itu layaknya Nyepi, hanya ditemani suara anjing sesekali, serangga, burung, cicak, katak dan senda gurau kami. Aku berupaya sekeras mungkin untuk tidak berupaya mengidentifikasi suara-suara aneh selain suara-suara tersebut karena binatang melata tidak mengeluarkan suara kecuali kobra yang merasa terancam. Selain itu, aku tidak mau dengar. 


Hiburan kami setiap harinya selain berkelakar dan acara masak memasak hanyalah menonton filem, mendengarkan lagu, membuka Facebook dan bermain dengan lima anjing bau milik direktur organisasi permaculture. Beberapa hari setelah sudah mulai merasa nyaman dan terbiasa tinggal di rumah itu, kami mendapat “kabar buruk”, bahwa kami harus bersiap-siap pindah ke rumah lain yang ada di dekat ladang permaculture kami. Ah, pindahan, aku paling benci pindahan, terutama karena kami harus memboyong barang-barang (yang tentunya sebagian besar bukan milikku) dari rumah ini ke rumah baru dan harus naik turun puluhan tangga. Oh sebelumnya kami kedatangan satu teman baru, mantan “teman dekat” Yas, ahli IT dari Chile yang mirip John Lennon (kami menjulukinya Otong Lenon) dan pemalas luar biasa. Tapi ia paling rajin keluar malam menuju ke kota, walaupun harus menempuh hutan gelap, walaupun kadang harus menembus hujan, semangat bergaulnya sangat tinggi, tapi harus malam hari. Kenapa bergaul harus di malam hari aku pikir. Ia cukup unik karena memiliki prinsip tidak ingin berhubungan dengan perbankan dan tidak ingin memiliki telepon genggam, akhirnya setiap kali ia membuat temu janji, telepon genggam kami selalu jadi “korban”, disibukkan dengan panggilan atau pesan singkat teman-teman gaulnya. Prinsip yang cukup aneh dan menyusahkan teman pikirku, tapi begitulah Otong Lenon, dia punya peran tersendiri dalam menceriakan hari-hari kami, kelakarnya yang out of the box dan kejahilannya yang menyebalkan membuat kami hanya bisa memaafkan kelakuan Otong Lenon yang bagai adik kecil kami. 

Pernah suatu hari dengan sikap ogah-ogahannya dan basa basinya yang menyebalkan, pura-pura menawarkan kebaikannya untuk mengangkat koperku ketika pindah rumah. Sesaat aku pikir ia tulus menawarkan hal itu, namun ketika aku lihat muka jahilnya yang lebih menunjukan ekspresi  “I hope you refuse my offer, I hope you refuse my offer, I hope you refuse my offer”, layaknya orang berdoa keras dalam hati sambil mengepalkan tangan agar vonis hukuman matinya dicabut. Seketika aku berpaling kesal dan terpaksa menjadi wanita independen.  Aku mengusung koper seberat 30kg di atas kepala karena dengan cara seperti ini jauh lebih efektif, hasil latihan mengusung buah-buahan sesaji selama di Bali ternyata cukup berguna ketika traveling menghadapi situasi seperti ini. Maksudnya ketika berhadapan dengan laki-laki konyol macam ini, life goes on.


Sehari sebelumnya, aku bangun agak siang karena serangan nyamuk bertubi tubi di malam hari. Rupanya ini gara-gara kelakuan Otong Lenon yang lupa menutup pintu ketika ia keluar masuk rumah. Ketika aku bangun Yas dan Steve sudah tidak di rumah, hanya tinggal aku dan Otong Lenon. Huh, untung dia sedang tidur lelap karena semalaman begadang, malas rasanya harus berbincang bincang dengan si pemalas aneh satu itu, aku lebih suka hening dan bengong menatap hamparan hutan hijau dan biru laut ketika bangun dari tidur malam. Aku bertanya dalam hati ke mana Yas pergi, biasanya ia selalu mengajakku ke manapun ia pergi. Mungkin ada kelas pagi kupikir. Seringkali ada murid datang dari kota untuk mengikuti permaculture workshop yang diberikan Steve. 


Aku memutuskan untuk berjalan turun bukit, menapaki tangga perlahan sambil melihat lihat sekitar dan menebak nebak apakah aku akan menemukan Yas dan Steve sedang mencangkul dengan bercucuran peluh mendemonstrasikan kepada anak-anak kota itu bagaimana cara mencangkul ala pasukan perdamaian PBB. Sudah 30 anak tangga dan aku tidak juga menemukan Yas dan Steve, ah aku tidak mau melanjutkan turun lebih jauh lagi, ada rasa khawatir bahwa aku akan diajak mencangkul di bawah terik matahari yang mulai bergeser tepat di atas kepala. Aku memutuskan untuk kembali ke rumah, mungkin aku bisa membantu Yas memasak makanan enak; omelet. Kalaupun salah bumbu, orang yang pulang sehabis mencangkul tidak akan tahu perbedaan makanan enak dan tidak enak pikirku. Paling tidak hari itu mungkin aku akan sedikit berguna bagi Yas dan Steve, tidak seperti si Otong Lenon pemalas itu. Baru mau mulai melangkah pulang, iseng-iseng aku membaca papan papan pengumuman yang di pasang di beberapa titik sekitar rumah tinggal kami. Tulisan itu kira berbunyi “The areas in the vicinity of this sign are subject to landslip risk. Some squatter huts have been recommended for clearance. Location of the affected squatter huts are available from the Geotechnical Engineering Office at 2760 5715. Please stay away from slopes and stream courses during Landslip Warning Signal, Typhoon Signal no. 8 or heavy rains”. Intinya, areal tempat tinggal kami rawan longsor terutama ketika jika ada hujan deras dan typhoon.



Seketika aku menelan ludah, padahal beberapa hari lalu kami sempat mengalami typhoon ketika kami untuk kedua kalinya turun ke kota menjelang petang, rasanya seperti berjalan menantang arus air deras, aku dan Yas hanya berpandangan ketika kami melewati jalan di pesisir pantai yang sangat lengang, hanya tinggal satu dua orang saja yang berpapasan dengan kami. Kami sudah terlanjur berjalan kearah pelabuhan ferry dan hanya tinggal menempuh jarak 5 menit saja sudah sampai di pelabuhan. Kami sempat ragu apakah kami akan tetap melanjutkan niat kami pergi ke kota dengan kondisi cuaca seperti itu, namun kami tetap melanjutkan perjalanan sambil berkelakar sepanjang sisa perjalanan. Aku bisa berdiri sambil mencondongkan badan 20 derajat ke depan tanpa jatuh karena terpaan typhoon yang sensasional hari itu, berpantomim meniru gerakan berlari menerjang badai. Yas melihatku sambil terkekeh kekeh. Hari itu aku tau rasanya jadi Michael Jackson. Ketika kami tiba di pelabuhan, baru kami tahu angin sekencang itu dinamai typhoon signal no.8, skala 1 hingga 8. Ada satu petugas pelabuhan yang secara tertib mengganti papan pengumuman signal typhoon, sebelumnya ketika kami baru saja tiba papan itu masih menunjukan typhoon signal no.6, beberapa saat kemudian ia mengganti pengumuman dengan typhoon signal no.8. Oh, no! Apa artinya ini? Berarti ferry tidak akan beroperasi kah? Apakah kami harus kembali berjalan kaki pulang ke atas bukit itu lagi di tengah cuaca seperti ini? Aku mulai mencari akal,  browsing mencari hotel terdekat di pelabuhan,  namun sial, hotel terdekat harganya selangit karena dekat pantai. Sial betul kami hari itu. Walaupun demikian kami tidak putus asa, menanyakan kepada petugas apakah ferry akan  tetap diberangkatkan. Ternyata ferry tetap beroperasi walaupun dalam kondisi seperti itu dan penumpang ferry itu hanya tiga orang termasuk kami. Kami sangat terharu akan pelayanan perusahaan ferry penyebrangan itu, pastinya mereka sudah paham akan resiko beroperasi dalam cuaca seperti itu, kami pun yakin.


Lamunanku terhenti, tak terasa kemudian aku sampai di rumah, masih sedikit terguncang mendapati kenyataan bahwa tempat kami tinggal rawan bencana longsor, aku memutar otak bagaimana caranya lari tunggang langgang kalau bencana itu tiba. Seketika aku merapikan barang-barang penting, dikumpulkan menjadi satu dalam tas kecil dan diletakan di tempat yang gampang diraih sebelum lari tunggang langgang, atau mungkin lebih tepatnya menggelinding saja agar lebih cepat sampai ke bawah. Lapar menyerang, dan aku terpaksa masak untuk sendiri, masa bodoh dengan Otong Lennon. Hari menjelang petang, ketika aku masuk ke dalam rumah ternyata Otong Lenon sudah terbangun dan sedang duduk tak bergeming dihapadan lap topnya. Bagus lah, aku tidak perlu memulai percakapan basa basi, apalagi menawarkan dia makanan yang baru saja kubuat. Tapi ternyata aku tidak sedangkal yang aku rencanakan, melihat muka kekanak kanakannya aku serta merta menawarkan makanan. Orang ini aneh, menyebalkan tapi tidak sanggup jika harus mengabaikannya.


Yas muncul tak lama kemudian, senang rasanya melihat kemunculannya setelah seharian “kehilangan” Yas. Ia menjelaskan bahwa baru saja ia selesai membersihkan rumah yang akan kami tempati nanti. Mengepel lantai, menggosok lantai, menata ruang untuk cuci piring, menyapu halaman, dan lain lain yang semakin detil ia ceritakan semakin membuatku merasa bersalah karena bangun kesiangan. Sesaat kemudian aku berpaling kearah Otong Lennon, berpikir apakah ia akan merasa sebersalah diriku jika ia tahu Yas mengerjakan semua itu SENDIRIAN, untuk kami.


Akhirnya tiba waktu untuk memindahkan barang, kami memang agak menunda nunda kegiatan ini karena kami masih senang dan sudah merasa nyaman di rumah itu. Ada sedikit prahara dalam “rumah tangga” kami karena kami harus meninggalkan rumah itu dalam keadaan semula sekaligus memindahkan barang dalam waktu singkat layaknya keluarga yang diusir dari kontrakan karena menunggak sewa, aku dan Otong Lenon bergerak sangat lamban karena keengganan kami untuk beranjak dari rumah itu. Namun akhirnya kami, terutama karena Yas bergerak secepat Flash Gordon, mampu menyelesaikannya dalam jangka waktu yang ditentukan. 


Rumah “baru” kami adalah rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya selama 14 tahun, rata-rata rumah yang ada di bukit itu adalah rumah-rumah yang ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya karena terpaksa harus mengevakuasikan diri sehubungan dengan bencana longsor besar yang sempat terjadi di sana. Rumah itu ternyata tidak terlalu jauh dari rumah tinggal kami di atas bukit, tidak jauh bagi kami karena kami sudah terbiasa menempuh perjalanan dari atas bukit ke pelabuhan yang jarak tempuhnya 15 menit dengan sepeda yang meluncur cepat menuruni bukit dan 30 menit berjalan kaki. Rumah itu memiliki halaman yang sangat luas. Kami harus memasuki pintu gerbang besi berkarat yang ketika dibuka bunyinya mirip adegan pembuka filem-filem horror atau thriller. Ada jalan setapak berkelok sebesar bahu badan kearah rumah itu. Tidak jauh setelah memasuki gerbang karatan tadi, di samping kirinya terdapat runtuhan bangunan yang mengingatkanku akan salah satu foto ladang pembantaian manusia tidak berdosa di Kamboja. Bangunan itu penuh dengan lumut dan kayu kusen jendelanya sudah lapuk dimakan suhu lembab. Di dalamnya masih terdapat banyak perabotan seperti mangkuk keramik, piring, sendok keramik, dan peralatan dapur lainnya. Yas bilang ketika ia menemukan perabotan itu rasanya seperti menemukan harta karun, versi ibu rumah tangga. Ia sempat mengumpulkan dan mencuci perabotan itu dengan seksama sebelum kami pindahan hari itu.

Di sebelah kanan gerbang ada bangunan runtuh yang hanya tersisa fondasinya saja dan di atas fondasi tersebut berderet lebih banyak lagi mangkuk-mangkuk keramik putih, kalau malam hari mangkuk-mangkuk itu terlihat seperti tengkorak kepala yang berjejer, mirip seperti deretan tengkorak di desa Trunyan, ya persis seperti itu.


Rumah kami berada sekitar 40 meter dari gerbang karatan itu, di kiri kanan jalan setapak itu hanya ada pohon-pohon besar dan semak belukar, tidak ada rumput, hanya tanaman perdu kecil-kecil yang daunnya mirip daun sirih, tumbuh merambat menutupi permukaan tanah. Jalan setapak itu sama sekali tidak memiliki penerangan, ada tiang penopang lampu, namun sudah lama tidak berfungsi. Pastinya aku tidak akan pernah melewati jalan setapak ini sendirian ketika malam hari. Bagus juga pikirku, kondisi rumah seperti ini membuatku terpaksa berhemat karena enggan turun ke kota. Ada dua bangunan rumah terpisah dalam satu halaman itu, namun kami hanya menempati salah satunya saja, yang paling besar, memiliki dua lantai. Seperti halnya rumah di atas bukit, bangunan dapur dan kamar mandinya terpisah dari bangunan utama, dan lagi-lagi dapur dan kamar mandi merupakan satu bagian yang hanya dipisahkan dengan tembok penyekat. Anehnya di rumah ini tidak ada kamar mandi, hanya toilet duduk saja. Lantas kami mandi di mana? Ternyata Yas tidak kurang akal, dia sudah mengubah dapur menjadi tempat mandi kami. Ia mengubah halaman terbuka menjadi dapur dan tempat cuci piring. 


Tempat cuci piring hasil karya Yas terbuat dari tumpukan batu besar yang ia susun menjadi kaki meja, ia meletakan kaca persegi yang ia temukan di “rumah pembantaian” dekat gerbang karatan. Di atasnya diletakkan ember untuk menampung air keperluan cuci piring dan di sampinganya terdapat tumpukan peralatan makan, harta karun hasil temuan ibu rumah tangga, yang banyak tersebar di sekitar rumah. Terbayang bagaimana badan sekecil Yas (Yas berukuran sama kecilnya denganku) mengangkat batu-batu berat itu satu demi satu, sendirian. Perasaan bersalah kembali menyerang. Untungnya lokasi batu-batu itu tidak teralu jauh dari rumah baru kami, begitu pikirku untuk mengurangi rasa bersalah itu. 


Untungnya penerangan di dalam rumah itu masih berfungsi. Perabotan yang ada dalam rumah itu cukup lengkap, ada kompor pinjaman, satu sofa, satu anak sofa, satu unit cabinet yang dulunya adalah kitchen set, tiga set ranjang masing masing ada di dalam kamar di lantai dua, dua kursi plastik warna putih, satu kursi reot yang kalau kami duduki pasti kami tergelincir kalau tidak berupaya menjaga keseimbangan, satu meja bundar reot yang sudah miring, tempat kami makan. Itu saja. Kami butuh meja untuk menemani sofa kami. Yas membuat meja dari kardus tebal sisa kemasan AC, ia belah menjadi dua, cukup stabil untuk menopang kaca persegi yang ia temukan di rumah sebelah, yang fungsinya sebagai gudang kami. Rasanya rumah itu sudah cukup lengkap untuk menopang hidup kami sehari hari, hanya kurang satu hal, rumah ini tidak memiliki jaringan internet. 


Jendela rumah itu besar-besar, ada sebagian yang masih utuh kacanya dan sebagian tidak dapat ditutup karena berkarat parah, dan kami tidak memiliki gorden. Tapi kami bertiga tidak terlalu membutuhkan gorden karena rumah kami terletak di tengah hutan dan akses satu-satunya untuk mengunjungi rumah kami harus melewati gerbang berkarat tadi. Siapapun yang memasuki halaman rumah kami gampang dikenali karena suara gerbang dibuka atau ditutup itu terdengar sampai rumah. 


Satu-satunya alasan mengapa kami berpikir untuk menaruh gorden adalah karena di malam hari kami malas melihat ke luar jendela, di luar sangat gelap dan kami tidak tahu apa yang ada di luar sana. Kami punya selembar kain untuk menutup satu jendela saja, dan kami putuskan untuk menutup satu jendela besar yang kami pikir itu harus ditutup, entah karena apa, tapi kami sepakat disitulah kami harus meletakan selembar kain itu. Lampu di teras kami selalu kami nyalakan, agar kami bisa melihat situasi di sekeliling rumah, walaupun sejak awal kami tinggal hingga kami meninggalkan rumah itu tidak ada binatang berbahaya, selain kobra yang ditemui Yas di kamar mandi ketika ia sedang buang air. 


Kami bertiga saja di rumah itu, aku, Yas dan Otong Lennon, tapi rumah itu sudah sangat hidup walaupun jika harus tinggal berdua saja, karena ada dua anjing bau milik direktur yang entah kenapa hanya dua ini saja yang setia menemani kami dan membantu kami berjaga-jaga di rumah itu. Namun harus selalu ada Yas di dalamnya, tanpa Yas rumah itu tidak hidup. Steve mengambil satu bangunan kecil, lebih tepatnya kamar karena bangunan itu hanya seluas 3 x 3 meter saja, tidak jauh dari rumah kami, tepat disamping ladang permaculture kami.


Walaupun rumah kami memiliki tiga kamar, aku dan Yas memutuskan untuk berbagi satu kamar, dengan dua jendela besar. Ia bilang burung senang sekali bersarang di sana, di kamar itu pasti paling bagus diantara kamar lain. Aku setuju saja, tanpa alasan lain, yang penting ada teman tidur dan bercerita sebelum tidur. Ranjang kami terbuat dari besi, mirip sekali dengan ranjang tidur tempo dulu yang ada di kampung kami. Otong Lenon mengambil satu kamar lainnya, tapi seringkali ketika malam hari hanya tinggal kami berdua saja karena Otong Lenon sibuk bergaul di kota hingga pagi menjelang. Ia seringkali pulang pukul 7 pagi berjalan terhuyung huyung layaknya zombie kekurangan tidur setelah bergaul malamnya dengan sesama zombie. Atau mungkin lebih mirip drakula, karena ia selalu pulang ketika matahari terbit, kembali ke “peti mati”nya. Jendela kamar kami juga tidak memiliki gorden, dan kami sering terbangun di malam hari karena waspada akan sesuatu. Susah sekali mendapat tidur nyenyak di malam-malam pertama kami menempati kamar itu. Kamar-kamar yang ada di lantai dua hanya disekat oleh partisi kayu dan tidak berpintu layaknya kamar-kamar di rumah-rumah Joglo. Ada sentuhan Jawa di rumah itu. Kebetulan Yas membawa kain batik tulis bermotif mega mendung berwarna coklat, cocok sekali dijadikan penutup kamar kami. Kami berasa seperti tinggal di kampung halaman di kamar itu. Kamar itu sangat hangat karena panas siang hari tersimpan di lantai dua, sedangkan lantai dasar lebih dingin dan lebih lembab. Tidak lama kemudian Yas menemukan kain-kain bekas yang bisa digunakan untuk menutupi jendela kamar kami, sejak itu kami dapat tidur dengan nyenyak, setiap malam kami memasang lagu-lagu nonstop hingga kami bangun keesokan paginya. Kami merasa harus memasang lagu setiap menjelang tidur, setelah kami lelah berbincang bincang.


Ritual kami di malam hari adalah membangunkan satu sama lain jika ingin buang air kecil. Ketika menjelang malam hari dan kami harus mandi setelah berpeluh karena kegiatan workshop, kami harus mandi berdua, selalu seperti itu. “Kamar mandi” kami adalah dapur yang disulap sedemikian rupa hingga menjadi kamar mandi yang agak layak. Tidak ada ember atau tempat penampungan air di dalamnya, sehingga kami harus menggunakan selang yang agak panjang untuk mandi. Kamar mandi itu memiliki dua jendela, satu jendela besar menghadap ke hutan, satu jendela kecil menghadap ke halaman tempat menjemur baju, pandangan dari jendela kecil ini tembus hingga ruang tamu, sehingga kami perlu menutup jendela ini. Satu jendela besar ini agak mengganggu pikiran kami jika harus mandi di malam hari, bukan karena khawatir akan ada yang mengintip kami mandi, kami tidak peduli sekalipun jika itu terjadi, namun jika jendela itu ditutup paling tidak akan membuat pikiran kami agak tenang jika harus mandi malam hari. Kami tidak suka gelap di luar sana, mungkin bukan karena tidak suka gelap, namun kami tidak terlalu suka “kejutan” yang tidak diharapkan. Ah, sial, ini semua karena virus dari filem-filem tidak bermutu yang kami tonton waktu kami kecil. 


Ketika hujan lebat, air berubah keruh karena kami menggunakan air tanah, sehingga kami harus belajar membaca cuaca untuk tahu kapan harus mandi atau menampung air untuk keperluan sehari hari. Pernah satu ketika kami sedang tengah mandi dan air yang kami guyurkan ke badan berubah jadi lumpur karena saat itu hujan deras sekali. Yas beruntung karena ia sudah selesai mandi, aku tengah membasuh badan dan mencuci rambut. Aku pikir sudah lama tidak mandi air hujan. Bahagia sekali rasanya bisa mandi di bawah hujan seperti itu dan kebetulan Otong Lenon sedang tidak ada di rumah. Merdeka sekali bisa seperti ini. 


Kami yakin rumah kami paling hidup dibandingkan rumah-rumah lainnya, kami selalu berdendang, berdansa, berkelakar, namun tidak jarang juga kami bertikai tentang hal-hal sepele. Termasuk salah satu yang paling aku ingat adalah jika tiba jadwal makan kami, tidak jarang kami bertikai soal asal muasal ayam yang tidak dapat dipercaya. Steve paling anti ayam asal Cina, yang tidak organik. Sayangnya ayam itu sudah matang sebelum kami sempat menanyakan riwayat hidupnya. Beberapa dari kami enggan menelan makanan vegetarian yang rasanya aneh yang dibuat oleh direktur kami dan asistennya. Bagiku, layaknya makanan sisa yang dicampur aduk jadi satu, ada yang masih mentah ada yang matang, tersiksa juga harus sehat dengan cara seperti ini. 


Awalnya aku berpikir bahwa tempat tinggal kami sangat tidak layak, berbahaya dan tidak akan betah berlama lama di sana, namun semakin hari aku semakin menikmati hidup di tengah-tengah hutan seperti itu dan jatuh cinta dengan “kamar Jawa” kami. Tidak bising, udara yang sejuk, kupu-kupu di mana-mana, bulan purnama yang sangat indah di dalam gelap, jauh dari hiruk pikuk kegilaan manusia dan mesin-mesin, rasa takut yang tidak beralasan yang sering membuat kami terkekeh sendiri, cerita-cerita sebelum tidur, kelakar konyol semua orang di sekeliling kami dan lima ekor anjing bau yang selalu mengelilingi kami, tidak akan pernah kami lupakan.  Yas benar, dan aku setuju bahwa tempat itu seperti surga, versiku dan Yas. Lebih tepatnya, surga itu ada di kepala kami.


Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender