Bapak Tua dan Sungai Mekong

Teringat pembicaraan sekelompok teman sesama perantau tentang kata "polos". Mereka menertawakan kata "polos" dalam bahasa Bali, yg artinya "baik". Dalam hati saya bertanya, apanya yang lucu? masakah mereka tidak paham arti kata itu, sedangkan mereka sudah cukup lama tinggal di Bali. Arti kata polos yg mereka pikir mungkin kata polos yg cenderung mengarah ke bodoh. Lagi lagi tergelitik oleh semantik. Polos: sangat sederhana, apa adanya, dengan sebenarnya. Sifat yg dimiliki oleh kebanyakan anak kecil. Kata ini bila dilekatkan pada seseorang, merupakan suatu pujian. Banyak yg salah kaprah mengartikan ini sebagai kebodohan. 

Ada seorang bapak yang sangat menarik perhatian saya separuh perjalanan saya dengan slow boat menyusuri sungai Mekong. Umurnya mungkin hampir mencapai 50 tahun, namun ada yang menarik dari sorot matanya dan sikap tubuhnya. Ekspresi bapak ini seperti anak kecil penurut yg dengan sabar menunggu sesuatu sambil memperhatikan apa yg ada di sekelilingnya. Tatapan polos bercampur dengan kepasrahan namun ada binar keingin tahuan seorang anak kecil. Setiap gerak gerik para turis dan benda benda yg menurutnya asing tidak luput dari pandangan penuh rasa ingin tahunya. Yg saya pikirkan saat itu, bagaimana bila ada manusia uber dominan yang dengan bengisnya melancarkan agresi terburuk manusia terhadap manusia lainnya yg lebih lemah. Seperti kerasukan setan, merampas hak hidup apalagi hak untuk duduk diam dengan mulut ternganga menikmati pemandangan sungai Mekong di kapal penuh sesak dengan turis mancanegara yg juga menjadi pusat perhatian bapak polos ini. Tragedi genocide yang merampas hidup banyak manusia tidak bersalah, sudah pernah terjadi dalam sejarah hidup manusia, tidak hanya di Cambodia. Saya lanjut berpikir, bapak ini mungkin seorang petani, buruh tani dari desa kecil berpenghuni 50 kepala keluarga, yang sedang diajak sanak saudaranya menuju kota besar entah untuk dapat pekerjaan apa. 

Terbayang betapa banyaknya orang seperti ini di Indonesia. Bukan manusia bodoh, hanya manusia sederhana dan polos, yang dipaksa untuk menyesuaikan kemampuan berfikir dan cara bekerja dengan kecepatan tuntutan dan harapan"orang kota". Bila mereka tidak sanggup memenuhi tuntutan dan harapan "orang kota", label "bodoh" dan "tidak berpendidikan" sudah siap menunggu untuk dilekatkan kalau bisa di dahi mereka. Saya paling sering memberikan label ini kepada orang orang seperti itu, dan saat itu juga membuat diri saya merasa gemas sekaligus merasa lebih baik dari mereka. Itu dulu sekali, untungnya tidak berlarut larut. 

Dua puluh menit kemudian kapal merapat ke bibir sungai mekong yg berbatu batu besar dan bapak polos itu beranjak dari kursinya. Ada rasa lega, ternyata dia tidak sedang menuju kota besar. Dia membungkuk memungut karung dari bawah celah kursinya dan berjalan ke arah pintu dengan langkah tergopoh gopoh karena beban berat karung yg dibawa di tangan kirinya. Tangan kanannya beberapa saat kemudian meraih peralatan menangkap ikan yg terbuat dari bambu yg terletak di dekat kursi jurumudi. Perangkap ikan ikan kecil yg terbuat dari bambu, hanya untuk menangkap ikan ikan kecil. Sederhana sekali kelihatannya, hanya mengambil apa yang ia butuhkan untuk hidup sehari hari. Tidak seperti pemilik pukat harimau, yg mungkin juga punya portofolio investasi dalam bentuk saham yang katanya bisa menghasilkan lebih banyak uang tanpa bekerja untuk masa depan yang cerah. Hm...Masa depan, lagi lagi istilah keterangan waktu yang dikomersilkan, oleh dunia bisnis pendidikan, perbankan, penjual asuransi dan penjual krim anti penuaan. Kalau ada, saya ingin berinvestasi untuk masa lalu, agar dapat kembali ke masa kanak kanak yang polos, masa masa yang sangat berharga, sebelum adanya kekacauan dan kebingungan dalam dunia orang dewasa. 

Bapak itu beranjak melangkah keluar dari kapal berjalan perlahan dan lebih tergopoh gopoh lagi karena harus menapaki tanjakan batu batu besar yg terjal di bibir sungai dengan beban karung dan perangkap bambunya. Ia berhasil naik menuju satu dataran yg terlihat seperti pasar ikan musiman, karena ada beberapa gubuk bambu reot yg terabaikan sementara karena belum tiba hari pasar, di pinggir sungai itu. Bapak itu meletakkan karungnya di atas meja bambu salah satu gubuk, dan ketika tangannya bebas dari beban, serta merta melambaikan tangan tanda perpisahannya dengan jurumudi kapal yg nampaknya sudah lama ia kenal dan melempar tawa penuh rasa terimakasih (seperti anak kecil yang memperoleh layang-layang yg putus dari tali kendali) tidak hanya kepada jurumudi, namun kepada turis turis di kapal yang secara diam diam dan malu malu ia amati sepanjang perjalanannya. Satupun dari turis turis di kapal tidak ada yang membalas lambaian tangan bapak polos itu. Bukan karena tidak perduli, namun banyak diantara mereka yang tertidur, termenung atau sibuk dengan benda canggihnya dan buku-buku untuk menghibur diri di perjalanan slow boat yang lama lama membosankan. 

Beruntung sekali mata ini sedari awal tertumbuk pandangannya ke arah permata (kepolosan) yg berbinar, karena jiwa sederhana dan polos sangat jarang saya temui, karena mata saya lebih sering tertutup oleh pikiran saya sendiri yang penuh dengan banyak keinginan dan rencana masa depan, seolah masa depan itu benar benar ada. Saya pikir saya adalah orang modern yang tahu banyak hal, tanpa tahu arti modern yang sesungguhnya, tapi saya belum mampu mengembalikan jiwa polos dan kesederhanaan yang pernah saya miliki ketika kanak kanak. 

Menjadi modern itu tidaklah mudah karena disana dituntut kenampuannya untuk membuat kehidupan menjadi sangat layak. Layak bagi manusia lain dan bagi alam sekelilingnya, bukan layak untuk diri sendiri saja. Menjadi modern bukan berarti hanya bisa mengoperasikan peralatan canggih masa kini namun sering terjebak hujan atau mengeluhkan jemuran yang basah kehujanan karena lepas ikatan dengan kearifan lokal yg bisa mengajarkan cara membaca cuaca dari hembusan arah angin. Menjadi modern bukan pula melulu mampu membaca buku buku rumit namun gagal memahami tanda tanda alam akan tsunami, gempa bumi, atau sekedar mengenali pergantian arus hangat dan dingin di laut.

Menurut saya, bapak polos tadi jauh dari kesan bodoh, saya yakin dia mampu membaca kalam yg lebih besar, kalam yg membutuhkan pembacanya untuk peka dan sigap terhadap tanda tanda alam, karena ia harus makan hari itu dari ikan ikan di sungai Mekong.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender