Rindu Begawan
Ketika
Kopi : absen,
Rokok keretek: hadir
Tahu goreng : ludes
Katanya, kita ini butuh begawan, seperti jaman Greco Roman empire dulu yang para senatornya terdiri dari filsuf. Seperti kekaisaran Cina yang penasehatnya juga adalah seorang filsuf, untuk membuat suatu negara menjadi besar. Ceritera berlanjut ke perbandingan jaman Majapahit dulu, waktu "penasehat/pengasuh" raja-raja Jawa masih Sabdo Palon Noyo Genggong, kita sempat menjadi bangsa yang besar.
Dipikir-pikir, sebenarnya yang penting itu besarnya (dari segi wilayah) atau namanya yang "besar".
Tujuan apa yg sebenarnya ingin dicapai? Apalah arti luas wilayah bila tidak mampu mempersatukan berbagai aspirasi rakyat yang mendiaminya? Hey, saya tahu pemikiran ini bisa jadi bahaya laten bagi persatuan dan kesatuan bangsa, yang dulunya punya 27 propinsi-yg menurut saya jumlah ini hanya alasan romantisme bapak no satu di Indonesia dulu terhadap kejayaan Majapahit- dan sekarang ada 36 propinsi. Buat saya, yang menyandang status warna negara-bukan pejabat-bukan birokrat-bukan juga tukang sulap, mau seluas atau sekecil apapun, jumlah dan besaran suatu negara tidaklah penting.
Yang penting, saya bepekerjaan, berkesempatan. Semua juga ingin begitu rasanya. Kalau boleh meminta lebih saya tidak ingin masuk ke ruangan khusus ketika memasuki negara-negara adi daya, hanya karena memegang pasport warna hijau dan berwajah Melayu.
Dulu sekali, kata salah satu buku sejarah, bangsa kita sempat menguasai hampir sebagian besar Asia; nusantara kita, plus 8 negara lain di luar wilayah nusantara. Lalu saya tanya kepada teman penggemar sejarah kuno, bagaimana bisa?" Bisa saja, karena penasehatnya ya para begawan itu. Begawan itu tidak lagi lekat dengan hal-hal keduniawian, dan hanya memikirkan kesejahteraan rakyat semata. Makanya setiap kebijakan hanya ditujukan demi kesejahteraan rakyatnya". Kemampuan memperluas wilayah pengaruh, cerminan dari besarnya kekuatan suatu bangsa, wangsa, dinasti, negara. Lanjutnya, "Di sini kita hanya punya beberapa gelintir begawan, salah satunya Pram, sepertinya untuk saat ini kita hanya punya sisa satu". Mau pingsan dengarnya.
Dan ironisnya bukan Jawa, dia orang keturunan. Sambil lempar buku, "nih, baca! ada sejarah yang terlupakan mengenai asal muasal sentimen "yg tidak penting" terhadap orang keturunan di sini". Saya tahu, dulu saya belajar Sinologi. Saya paham kenapa. Memang tidak penting, muak karena itu melulu politis. Keji. Kasihan.
Entah memang negara ini harus diamputasi, atau bagaimana, mungkin keadaan yang chaotic bisa memicu kemunculan para begawan. Seperti di India, semakin kalut, kusut, semakin banyak jumlah filsufnya. Kondisi kacau tidak melulu berati buruk, hanya perlu dilalui, walaupun entah sampai kapan, saya yakin hukum alam akan keseimbangan. Dalam kekalutan akan muncul keharmonisan.
Kita tunggu saja kemunculan para begawan selanjutnya.
Kopi : absen,
Rokok keretek: hadir
Tahu goreng : ludes
Katanya, kita ini butuh begawan, seperti jaman Greco Roman empire dulu yang para senatornya terdiri dari filsuf. Seperti kekaisaran Cina yang penasehatnya juga adalah seorang filsuf, untuk membuat suatu negara menjadi besar. Ceritera berlanjut ke perbandingan jaman Majapahit dulu, waktu "penasehat/pengasuh" raja-raja Jawa masih Sabdo Palon Noyo Genggong, kita sempat menjadi bangsa yang besar.
Dipikir-pikir, sebenarnya yang penting itu besarnya (dari segi wilayah) atau namanya yang "besar".
Tujuan apa yg sebenarnya ingin dicapai? Apalah arti luas wilayah bila tidak mampu mempersatukan berbagai aspirasi rakyat yang mendiaminya? Hey, saya tahu pemikiran ini bisa jadi bahaya laten bagi persatuan dan kesatuan bangsa, yang dulunya punya 27 propinsi-yg menurut saya jumlah ini hanya alasan romantisme bapak no satu di Indonesia dulu terhadap kejayaan Majapahit- dan sekarang ada 36 propinsi. Buat saya, yang menyandang status warna negara-bukan pejabat-bukan birokrat-bukan juga tukang sulap, mau seluas atau sekecil apapun, jumlah dan besaran suatu negara tidaklah penting.
Yang penting, saya bepekerjaan, berkesempatan. Semua juga ingin begitu rasanya. Kalau boleh meminta lebih saya tidak ingin masuk ke ruangan khusus ketika memasuki negara-negara adi daya, hanya karena memegang pasport warna hijau dan berwajah Melayu.
Dulu sekali, kata salah satu buku sejarah, bangsa kita sempat menguasai hampir sebagian besar Asia; nusantara kita, plus 8 negara lain di luar wilayah nusantara. Lalu saya tanya kepada teman penggemar sejarah kuno, bagaimana bisa?" Bisa saja, karena penasehatnya ya para begawan itu. Begawan itu tidak lagi lekat dengan hal-hal keduniawian, dan hanya memikirkan kesejahteraan rakyat semata. Makanya setiap kebijakan hanya ditujukan demi kesejahteraan rakyatnya". Kemampuan memperluas wilayah pengaruh, cerminan dari besarnya kekuatan suatu bangsa, wangsa, dinasti, negara. Lanjutnya, "Di sini kita hanya punya beberapa gelintir begawan, salah satunya Pram, sepertinya untuk saat ini kita hanya punya sisa satu". Mau pingsan dengarnya.
Dan ironisnya bukan Jawa, dia orang keturunan. Sambil lempar buku, "nih, baca! ada sejarah yang terlupakan mengenai asal muasal sentimen "yg tidak penting" terhadap orang keturunan di sini". Saya tahu, dulu saya belajar Sinologi. Saya paham kenapa. Memang tidak penting, muak karena itu melulu politis. Keji. Kasihan.
Entah memang negara ini harus diamputasi, atau bagaimana, mungkin keadaan yang chaotic bisa memicu kemunculan para begawan. Seperti di India, semakin kalut, kusut, semakin banyak jumlah filsufnya. Kondisi kacau tidak melulu berati buruk, hanya perlu dilalui, walaupun entah sampai kapan, saya yakin hukum alam akan keseimbangan. Dalam kekalutan akan muncul keharmonisan.
Kita tunggu saja kemunculan para begawan selanjutnya.
Comments
Post a Comment