Ada Apa Dengan (Lagu) Cinta

Mungkin, salah satu ciri negara yg sudah "kenyang" untuk urusan politik (baca apatis): kebanyakan musisi*nya hanya fokus menjual lagu-lagu bertema cinta.

Kalau dilihat ke belakang, pada era rezim orba, kita punya banyak musisi yg menyuarakan lagu-lagu bernada protes atas kekuasaan rezim orba. Lagu-lagu yang haus akan adanya keadilan dan pencerahan. Kalau sekarang dengar lagu di radio, mungkin 99% lagu yg diputar melulu lagu-lagu cinta. Mungkin kebanyakan pencipta lagu asalnya tidak jauh dari Jakarta yang sudah "kenyang"**. 


Jarang ada yang tahu, nun jauh di sana, di pulau-pulau terpencil di antara 17.000-an pulau di Indonesia, ada musisi yang menciptakan lagu bertema susahnya menangkap ikan, atau susahnya menanam ketela rambat, atau banjir tahunan. Salah satu lagu unik yang pernah saya dengar dari salah satu pulau di daerah NTB adalah tentang asiknya bercinta di bawah pohon kelapa. Memang lagu cinta juga, tapi saya senang karena ada unsur deskripsi keindahan alam yang lekat dengan kehidupan masyarakat setempat. Ada lagi lagu tentang perjuangan mencari sagu (bukan beras/nasi sodara-sodara), menggunakan sampan kecil, melewati sungai yang terkenal dengan buayanya yang ganas. Masyarakat di tempat-tempat seperti ini saya yakin, mereka paham betul akan arti cinta, ketika setiap harinya mereka berjuang mempertaruhkan nyawa untuk mencari kebutuhan pangan.  

Ironisnya, daerah-daerah asal pencipta lagu-lagu cinta, sering sekali bikin huru hara. Huru hara BBM lah, korupsi lah, pornografi lah, mogok kerja masal lah. Mungkin orang-orang yang sudah terlalu kenyang itu senang sekali bicara ya? Berawal dari obrolan di warung-warung kopi, kemudian meningkat dari sekedar minum kopi menjadi makar. Keberadaan lagu-lagu bertema cinta dan huru hara sepertinya jaraknya dekat sekali ya? Seperti penyakit dan obat penawarnya, sumbernya di berada di satu titik.


Atau, mungkin, lagu-lagu yang bertema cinta itu justru indikasi bahwa mayoritas penduduknya berada di level pemahaman atau pendidikan politik yang sangat minim? Seperti tirai dari ketidaktahuan-mungkin bahkan ketidakingintahuan. Rasanya kurang berbobot sekali jika musisi kita hanya melulu bicara cinta-yang mungkin artinya saja tidak banyak yang tahu. Tapi memang menjual, sekali lagi menjual. Mungkin isu "menjual" yang menjadi alasan monotonnya tema lagu-lagu di radio yang saya dengar, bukan karena musisi kita sempit wawasan.


Sepertinya kualitas suatu bangsa sangat mungkin diukur dari kualitas musisi, artis, seniman dan sejenisnya.


*penulis lagu + band-band tenar dadakan yang mayoritas one hit wonderer.


**Infrastruktur lengkap, kapitalisme diterapkan dengan baik dan benar, dekat dengan pusat kekuasaan. Jikalau ada yang masih "lapar", siapa suruh datang ke Jakarta.


Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

Show Me The Way To Surrender