Pakaian perempuan

 Ibu Nita memang dari kecil rebel banget, dia gak suka diatur dan dikekang. Ayahnya mendidik dia sama kerasnya seperti pada saudara laki lakinya. Di rumahnya tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender. 


Ketika beranjak dewasa, dia heran dengan fenomena yang menciptakan gap antara lelaki dan perempuan. Apalagi ketika berhadapan dengan toxic masculinity*. Darahnya seketika mendidih mendengar banyaknya keluhan wanita wanita yang dilemahkan di lingkungannya. 


Salah satu hal yang paling bikin geram adalah pendapat para lelaki tentang cara wanita berpakaian. Ibu Nita sedari kecil sudah tomboy, dia hampir tidak pernah punya rok. Sesekali pakai rok, tapi sering dapat protes, karena cara duduknya masih sama seperti ketika dia pakai celana panjang. Jadi, untuk hal berpakaian, dia jarang dapat perhatian khusus dari kaum lelaki. Dari teman teman wanita ibu Nita yang lain, ada saja cerita bagaimana mereka dilecehkan ketika menggunakan pakaian tertentu. Anehnya, yang pakai baju tertutup rapat pun masih kena pelecehan. Ada yang aneh. 


Ketika dia jalan jalan ke daerah daerah terpencil, untuk belajar dari masyarakat adat, dia menemukan bahwa dalam kehidupan masyarakat adat yang masih kental budayanya, ketelanjangan adalah hal yang biasa. Sepertinya, manusia yang makin dekat dengan alam, pikirannya makin waras. 


Kenapa manusia yang hidup di daerah urban dan cenderung modern, justru penghormatan terhadap perempuan sepertinya makin merosot. Perempuan lebih sering menjadi objek. 


Ibu Nita merasa perlu mengambil gebrakan yang bisa membuat kaum pria tidak lagi gagap menghadapi ketelanjangan. Pikirnya, ini saatnya membeli jenis baju lain (yang bukan dirinya) selain celana dan kemeja, hanya agar laki laki di sekelilingnya terbiasa dengan "keterbukaan". Hey! Buah dada wanita itu untuk menyusui generasi penerus, bahlul!! Pinggul wanita adalah portal kehidupan, penghubung alam ruh dan alam wujud. Wanita itu sakral. 


Sebagai direktur dan komisaris satu perusahaan, ia yakin mampu untuk membawa perubahan pada pola pikir laki laki, paling tidak untuk perusahaannya sendiri. Ia memutuskan untuk mengenakan pakaian khusus yang ia siapkan agar laki laki kolot di perusahaanya berubah 180°. 


Hari itu, Ibu Nita akan memimpin rapat khusus untuk tim inti perusahaan. Semuanya 7 orang laki laki. Ibu Nita ingin mengetahui pola pikir tim intinya lebih jauh, tentang wanita. Isu pakaian ini akan jadi eksperimen sosial yang menarik untuknya. Dia pikir jika ada diantara tujuh laki laki tim intinya yang kemudian akan merendahkannya karena apa yang akan ia kenakan hari itu, surat pengunduran diri sudah akan menunggunya. 


Warna baju itu hijau muda, orang bilang warnanya ijo ande ande lumut. Grup pencipta Pantone belum tau ada jenis hijau yang ini. Warna itu sangat serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Untuk pertama kalinya, di depan cermin, Ibu Nita melihat sosok lain. "Bukan diriku, tapi aku suka". Ia memastikan aset pada tubuhnya terlihat menonjol dan rambutnya sengaja digerai bebas. Bagian dadanya sedikit terbuka, sehingga renda bra berwarna hitam terlihat mengintip jika ia bergerak sesekali. Sepatu hak tingginya membantu penampilan keseluruhan menjadi makin sempurna. Tidak murahan dan tetap terkesan berwibawa. 


Hari itu, untuk pertama kalinya dia memimpin rapat mengenakan baju wanita.


Ketika memasuki ruangan rapat, tujuh orang laki laki, yang ia kenal betul, mulai terlihat aneh, hanya satu yang terlihat sangat tenang, tapi senyum senyum simpul. Bukan senyuman genit. Satu bapak tua, terlihat memilih untuk menunduk. Biasanya ia paling dulu memberi jabat tangan sambil menatap hangat. Sisanya terlihat sangat aneh. Rapat itu biasanya bisa berlangsung sekitar satu hingga dua jam, dan Ibu Nita sengaja memberikan arahan dengan berdiri sepanjang rapat. Ia ingin memantau apakah arahannya dapat ditangkap dengan baik. Biasanya diskusi bisa berjalan sangat lancar. Kali ini ia menemukan kesulitan berkomunikasi. Ibu Nita tidak menemukan tatapan matanya berbalas hari itu. Rata rata menunduk lebih lama, dan merespon sambil mencoret coret kertas. Rapat hari itu lebih hening. Keheningan yang aneh. Apakah mereka menangkap apa yang disampaikan ibu Nita atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. 


Empat puluh lima menit berlalu dan ibu Nita memutuskan untuk membubarkan rapat, karena situasinya terlalu aneh. Hari itu bukan ibu Nita yang akan meninggalkan ruangan rapat terlebih dahulu seperti hari hari biasa. Ia ingin berdiskusi lebih lanjut dengan bagian keuangan, sisanya harus bubar. 


Satu orang, yang sangat tenang, serta merta berdiri dan meninggalkan ruangan. Bapak tua yang sepanjang rapat menunduk, mungkin karena tidak enak badan, ikut menyusul tanpa menoleh pada ibu Nita untuk memberikan salam. Sisanya, sepertinya kaget ketika harus berdiri dan meninggalkan ruangan seketika. Ekspresinya agak aneh, ketika satu persatu ditatap oleh ibu Nita. Aneh, mereka memilih untuk duduk lebih lama. 


Hari itu juga ibu Nita memutuskan untuk lebih sering menggunakan baju serupa yang ia gunakan hari itu. Karena ia melihat betapa laki laki yang dipimpinnya bisa menunduk padanya. Sebelumnya ia selalu mendapat tatapan seperti ajakan berkompetisi dari sebagian tim intinya. Kali ini, hal itu tidak terjadi. 

Berbulan bulan sudah ibu Nita menerapkan kebiasaan barunya mengenakan baju wanita itu, yang ia juluki sebagai “baju perang”. Ya, perang melawan cara pandang laki laki terhadap sejumput kain penutup badan. Selang beberapa waktu berlalu, sepertinya dunia dalam perusahaannya baik baik saja. Awalnya memang aneh, namun kali ke sekian ibu Nita mengenakan “baju perang” itu, tidak ada lagi tatapan canggung. Mungkin di awal mereka canggung karena merasa kehilangan ibu Nita yang mereka kenal. Tapi ada satu hal yang menarik, sebagian laki laki di perusahaan itu berubah menjadi manis pada ibu Nita. Alangkah hebatnya pengaruh baju itu. 

Ibu Nita suka sekali bepergian ke Bali. Dia melihat betapa “keterbukaan” yang hilir mudik di hadapan warga Bali tidak memberikan pengaruh apapun. Wanita Bali baru saja menggunakan baju atasan dan bra di awal 1950-an lalu ketika pariwisata baru berkembang. Mandi di sungai bersama, masih sering dilakukan hingga kini. Ada semacam gejala, diantara masyarakat yang sangat “menutup” dirinya, justru paling liar pikirannya. Bukan sekali atau dua kali Ibu Nita menyaksikan sendiri bagaimana seorang wanita dengan pakaian tertutup dari kepala hingga kaki menjadi objek pelecehan seksual. 

Namun ada beberapa kejadian menarik yang bisa mematahkan pemikiran ibu Nita tersebut. Beberapa tahun silam ketika ibu Nita masih bekerja di kedutaan besar Palestina, tiba tiba diminta oleh duta besar Palestina untuk siap siap menyambut imam besar Masjid Al-Aqsa. Ibu Nita bukan perempuan pemakai hijab. Pakaian yang dikenakan hari itu hanyalah blouse sedikit transparan dan rok pencil gelap. Cukup menonjolkan lekuk tubuh ibu Nita. Duta besar sedikit melotot melihat pakaian ibu Nita, namun terlambat, sang imam besar sudah berada dihadapan mereka dan harus disambut, apa adanya. Ibu Nita sangat kikuk mengkhawatirkan kesan apa yang akan ditangkap seorang imam besar Palestina terhadap dirinya saat itu, terlebih terhadap institusi tempatnya bekerja. Benar benar tanpa persiapan apapun. Ia pikir, taplak meja pun akan sangat berguna untuk menutupi blouse transparannya. Namun sayang, hanya ada taplak meja plastik bermotif renda di dekatnya, kecil sekali. Hanya cukup untuk menutup wajahnya. 

Tiba saatnya berjabat tangan, ibu Nita ragu menjulurkan tangannya, namun ternyata disambut hangat. Ibu Nita senang bukan kepalang, imam besar yang ada di hadapannya memberikan tatapan hangat layaknya seorang ayah, orang tua, pada anaknya. Tatapan penuh kasih sayang. Hampir menitikkan air mata karena begitu hangatnya tatapan itu. Dan pada saat yang bersamaan, juga ingin selalu menundukkan kepala. Sepanjang sambutan dan bahkan makan malam bersama dengan sang imam besar, hanya rasa haru dan hangat. Ini rupanya kasih sayang yang besar dari seorang pemimpin ummat beragama yang selalu dirindukan. Tidak ada penghakiman, sedikitpun. Duta besar merasa lega ketika pertemuan itu berlalu tanpa “tragedi”. Sambil menatap ibu Nita, ia memberikan “tinju” di dagu ibu Nita dan mengacak acak rambut ibu Nita. Lain kali jangan bikin sport jantung bapak tuamu ini, katanya. Ah, siapa suruh tiba tiba memberi info penting hanya beberapa jam sebelum kedatangan tamu besar?

Fenomena menarik lainnya terjadi ketika di perusahaan ibu Nita kedatangan satu karyawan laki laki baru. Anak desa, lulusan sebuah pesantren di Jawa Timur. Wah, lulusan pesantren. Semoga karyawan baru ini tidak kaget melihat cara berpakaian ibu Nita sekarang. Hari pertama kerja, ibu Nita memperhatikan gerak gerik karyawan barunya. Tidak ada yang ganjil dari gerak gerik dan tatapan matanya. Biasa saja. Dia selalu shalat tepat beberapa saat setelah adzan berkumandang. Ibu Nita paling sering memanggil karyawan baru ini untuk membantunya mengerjakan hal kecil. Tidak ada kecanggungan karena pakaian yang dikenakan ibu Nita, secuilpun. Ibu Nita merasa nyaman mengetahui bahwa keshalihan seseorang (laki laki) terlihat dari bagaimana ia memperlakukan orang lain (wanita) di hadapannya, bukan berdasarkan dari pakaian yang dikenakan. 

Tapi, jangan jangan, apakah laki laki yang ada di sekeliling ibu Nita tidak memiliki pengaruh kuat untuk melakukan aksi protes atau perundungan? Secara hierarki dalam perusahaan, ibu Nita adalah seorang pemimpin. Jika demikian, maka masalah pelecehan seksual dan perundungan terhadap wanita kemungkinan murni karena relasi kuasa dan posisi tawar perempuan. Ah! Ternyata, bukan baju yang menjadi masalah sebenenarnya. Ibu Nita merasa agak sia sia membeli koleksi baju barunya. Ternyata bukan paparan “keterbukaan” yang dibutuhkan untuk mengubah cara pandang laki laki terhadap perempuan. Ibu Nita merasa, hal ini erat kaitannya dengan tingkat kecerdasan seseorang. Jika ini yang menjadi masalah, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh ibu Nita. Di negara ini, kecerdasan bangsa sangat kentara, hanya dengan melihat kondisi lalu lintasnya.

Toxic Masculinity

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

"Aku gak bisa percaya kamu"