Gendis


Gendis adalah seorang ibu rumah tangga yang unik. Ia salah satu wanita yang memiliki konsep perkawinan yang unik, ia sendiri dan kedua anaknya berdomisili di Jepang, sedangkan suaminya yang seniman, tidak bisa dan tidak suka tinggal di Jepang dan memutuskan untuk hidup terpisah, namun masih dalam ikatan perkawinan. Komunikasinya tetap dijalin setiap hari lewat telepon atau skype. Ada perbincangan yang cukup melekat dalam benak saya dengan Gendis, walaupun hanya bertemu beberapa jam saja dengannya di Maruyama Koen (taman kota).

Ketika Gendis kecil, pertanyaan yang paling sering mengganggunya adalah “Mau jadi apa nanti kalau sudah besar? Apa cita-citamu? He? (pertanyaan macam apa ini pikirnya)”. Ini salah satu pertanyaan paling berat yang pernah ia ingat dan sampai sekarang pun ia masih berpikir untuk menjawabnya. Yang ia tahu, mungkin kesukaanya saja. Ia menyenangi bentuk dan warna, sedari kecil, ia termasuk anak yang tangannya gritilan (tangannya tidak mau diam, jahil, selalu ada benda yang dipegang kadang hingga rusak). Kalau ia masuk ke kamar atau rumah orang, ia langsung tertarik dengan bentuk dan warna dari perabotan serta tata letak.

Kemudian berkembang kesukaannya menjadi lebih sering bengong mengamati apapun itu, entah cara tukang lotek meramu loteknya, tukang ketoprak menggoreng tahunya, kenapa semut berkumpul di tempat-tempat tertentu selain disekitar makanan yang manis, kenapa babi hidungnya besar, kenapa ada toilet yang dijadikan satu dengan dapur, kenapa Gangnam style jadi fenomena besar (saya tergelak ketika dia membahas ini), kenapa ada orang berambut keriting dan semacamnya (bahasa kerennya observasi).

Ketertarikan akan bengong mengamati banyak hal ini ia akui membuatnya cepat memahami pola pikir orang lain, apalagi jika orang yang mengajaknya berbicara dengan sukarela menceritakan masa kecilnya, menurutnya sama halnya seperti diberikan kunci untuk masuk ke dalam rumah orang tersebut kapan saja. Katanya, kalau saja kita ingat apa yang kita senangi sedari kecil, mungkin akan jauh lebih mudah untuk mengatur langkah seperti menentukan jenis pekerjaan yang akan kita ambil. Ia paling anti jika harus menerima konsep asing yang datangnya dari luar dirinya tanpa melakukan perlawanan terlebih dahulu, terutama yang tidak cocok dengan pilihan hatinya.

Semakin beranjak dewasa, banyak perlawanan yang ia lakukan, jauh lebih sering melawan orang tuanya ketika akan mendikte dirinya mengenai urusan akademis seperti jurusan apa yang harus diambil, ke mana harus melanjutkan kuliah. Ah, ia pikir, kenapa hidupnya harus di design oleh orang lain? Kenapa orang tua tidak support saja ke mana pun ia ingin belajar?

 Ia sama sekali tidak menyesali setiap perdebatan yang pernah timbul,  yang bisa melukai hatinya sendiri dan orang tuanya, terutama jika itu mengenai pilihan hidup. Mereka, orang-orang tua di sekitarnya bilang, ia anak durhaka, tidak mau menurut apa kata orang tua. Tapi ia merasakan bahwa semua pembangkangannya sedari kecil membuatnya leluasa menjadi dirinya sendiri, ia bisa bicara apa saja, dan menentukan jalan hidupnya sendiri, entah mau salah atau tidak, ia suka kebebasan itu, ia cukup yakin, toh orang tuanya akan tetap mencintainya.

Lebih lanjut lagi, kebiasaannya yang tidak suka diatur itu kemudian berkembang juga ke pola pikir lainnya, seperti halnya mengambil keputusan ketika membeli barang. Dia paling jarang membeli sesuatu karena orang bilang itu bagus, sedang nge trend dan lain-lain. Dirinya masih sama seperti ketika ia kecil, lebih fokus pada bentuk dan warna, fungsi seringkali diletakkan di urutan ke dua.

Memilih buku pun jarang sekali karena itu best seller, ia lebih sering mengambil buku-buku yang "terabaikan", kasian kan gak ada yang baca, namun setelah ia baca, ia terkagum kagum akan isi bukunya yang out of the box. Menonton filem pun jarang karena itu masuk rekomendasi box office. “Suka suka saya lah, mana-mana saja yang membuat saya terinspirasi dan tergerak”, katanya.

Menurutnya, kebiasaan orang untuk mendikte pilihan-pilihan dengan berbagai cara sangat tidak adil, karena itu bisa menjauhkan kita dari apa yang kita senangi,  apa yang kita ingin capai dalam hidup. Jaman sekarang ini coba saja perhatikan, banyak sekali iklan-iklan yang tidak layak untuk ditayangkan. Mengapa begitu banyak rayuan maut dan doktrin-doktrin lainnya lewat media cetak dan elektronik. Bagaimana kita bisa membedakan mana yang benar? Mana yang benar-benar kita butuhkan? Mana yang baik untuk jangka panjang?

Lagi-lagi ia merasa harus memberontak, mengapa (sistem) tidak membiarkan manusia menjadi manusia saja? Mengapa kita harus menjadi seseorang (yang sukses? Apa itu sukses?) Apa tidak cukup hanya menjadi orang baik saja?

Ada yang bilang lakukanlah apa yang kamu senangi dan jadilah yang terbaik dalam bidang yang kamu pilih. Bagaimana kita semua menentukan pilihan? Apapun itu. Apakah kita hanya mengikuti arus? Amati proses pengambilan keputusan itu, pemikiran itu datangnya dari mana? “Paling miris jika ada sistem yang membuat kita harus berkompetisi, alih alih memilih sesuatu yang kita senangi, justru kita mengambil pilihan apa yang menurut orang banyak “benar” atau “baik” atau “keren”? Mengerikan!”, katanya.

Gendis saat ini menjadi salah satu konsultan design lay out departement store terkemuka di Jepang.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Bali yang dulu

Ignorance is a bliss. Really?

"Aku gak bisa percaya kamu"