Ada Jiwa Kanak-kanak Dalam Setiap Diri Kita (Pengalaman Membuka Taman Bacaan Di Flores)
Ketika kami mengantarkan sumbangan buku-buku ke Kampung Megalith di Bena, Bajawa, Kab. Ngada (Flores), anak-anak yang saya pikir akan berada di sana dan menyambut kedatangan buku, sedang tidak berada di tempat. Kedatangan kami siang itu disambut oleh kepala desa dan Ketua Lembaga Adat Kampung Bena, dan buku-buku yang kami bawa diletakan di ruangan khusus di dalam bangunan tradisional cantik yang juga berfungsi sebagai pos penjagaan dan pendataan kunjungan wisatawan.
Kami membawa dua boks berisi ratusan buku-buku. Ketika boks pertama kami buka, tumpukan buku-buku tersebut layaknya magnet bagi warga yang kebetulan sedang berada di sana. Kebanyakan dari mereka saat itu adalah orang tua dan anak-anak muda. Satu demi satu menghampiri kami yang sedang sibuk membongkar buku-buku bacaan dari boksnya dan dengan rasa keingin tahuan yang tinggi mereka "mengacak-acak" dan memilih buku yang masih tertumpuk tak beraturan di atas meja.
Ketika saya sibuk menyusun buku dalam rak, saya menyadari sesuatu, suasanya saat itu agak hening, biasanya bapak tua dan mama tua senang sekali berbicara. Gaya berbicara orang Bajawa cukup heboh, karena terdengar seperti sedang berkelahi. Namun kali ini "kemeriahan" itu tidak terdengar. Saya terdiam seketika, menemukan bahwa saat itu mereka hanyut dalam bacaan. Saya sangat tersentuh oleh kenyataan bahwa bapak tua dan mama tua sangat antusias dengan buku-buku yang kami bawa untuk anak-anak Kampung Bena, mengambil dan membaca buku-buku yang kelihatannya menarik perhatian mereka. Yang terdengar saat itu hanya gumaman mereka membaca buku, cara mereka membaca buku seperti sekumpulan pendeta yang sedang melafalkan mantra-mantra. Menarik sekali. Mereka jelas-jelas terhipnotis oleh buku sehingga keberadaan saya saat itu tidak nampak oleh mereka. Yang saya lihat saat itu bukanlah sekumpulan orang tua yang membacakan buku kepada anak-anaknya, namun sekumpulan "anak-anak" yang sedang sangat menikmati buku bacaan bergambar.
Mereka jelas-jelas sangat merindukan kesempatan membaca buku-buku berkualitas, suatu hal yang biasa kita nikmati sebagai warga yang hidup di kota besar ternyata merupakan suatu kemewahan dan keistimewaan yang tidak kita sadari selama ini dan tidak mereka miliki.
Saya mendapati bahwa buku-buku Taman Bacaan Pelangi yang kami bawa saat itu tidak hanya memberikan keceriaan bagi anak-anak, namun juga bagi para orang tua dan anak-anak muda yang tidak memiliki kesempatan menikmati buku-buku berkualitas ketika mereka masih kanak-kanak.
Saya ingin berterimakasih kepada Nila Tanzil yang telah memberikan kesempatan kepada saya dan melibatkan saya dalam misi mulianya, membantu yang kurang beruntung di Indonesia Timur untuk mendapatkan hak mereka, berbagi keceriaan dan kebahagian lewat buku-buku bacaan berkualitas. Pengalaman membuka Taman Bacaan Pelangi di Kampung Megalith Bena menjadi momen yang tak terlupakan dan membangkitkan inspirasi. So, let's spread the joy by donating good books.
www.tamanbacaanpelangi.com
Kami membawa dua boks berisi ratusan buku-buku. Ketika boks pertama kami buka, tumpukan buku-buku tersebut layaknya magnet bagi warga yang kebetulan sedang berada di sana. Kebanyakan dari mereka saat itu adalah orang tua dan anak-anak muda. Satu demi satu menghampiri kami yang sedang sibuk membongkar buku-buku bacaan dari boksnya dan dengan rasa keingin tahuan yang tinggi mereka "mengacak-acak" dan memilih buku yang masih tertumpuk tak beraturan di atas meja.
Ketika saya sibuk menyusun buku dalam rak, saya menyadari sesuatu, suasanya saat itu agak hening, biasanya bapak tua dan mama tua senang sekali berbicara. Gaya berbicara orang Bajawa cukup heboh, karena terdengar seperti sedang berkelahi. Namun kali ini "kemeriahan" itu tidak terdengar. Saya terdiam seketika, menemukan bahwa saat itu mereka hanyut dalam bacaan. Saya sangat tersentuh oleh kenyataan bahwa bapak tua dan mama tua sangat antusias dengan buku-buku yang kami bawa untuk anak-anak Kampung Bena, mengambil dan membaca buku-buku yang kelihatannya menarik perhatian mereka. Yang terdengar saat itu hanya gumaman mereka membaca buku, cara mereka membaca buku seperti sekumpulan pendeta yang sedang melafalkan mantra-mantra. Menarik sekali. Mereka jelas-jelas terhipnotis oleh buku sehingga keberadaan saya saat itu tidak nampak oleh mereka. Yang saya lihat saat itu bukanlah sekumpulan orang tua yang membacakan buku kepada anak-anaknya, namun sekumpulan "anak-anak" yang sedang sangat menikmati buku bacaan bergambar.
Mereka jelas-jelas sangat merindukan kesempatan membaca buku-buku berkualitas, suatu hal yang biasa kita nikmati sebagai warga yang hidup di kota besar ternyata merupakan suatu kemewahan dan keistimewaan yang tidak kita sadari selama ini dan tidak mereka miliki.
Saya mendapati bahwa buku-buku Taman Bacaan Pelangi yang kami bawa saat itu tidak hanya memberikan keceriaan bagi anak-anak, namun juga bagi para orang tua dan anak-anak muda yang tidak memiliki kesempatan menikmati buku-buku berkualitas ketika mereka masih kanak-kanak.
Saya ingin berterimakasih kepada Nila Tanzil yang telah memberikan kesempatan kepada saya dan melibatkan saya dalam misi mulianya, membantu yang kurang beruntung di Indonesia Timur untuk mendapatkan hak mereka, berbagi keceriaan dan kebahagian lewat buku-buku bacaan berkualitas. Pengalaman membuka Taman Bacaan Pelangi di Kampung Megalith Bena menjadi momen yang tak terlupakan dan membangkitkan inspirasi. So, let's spread the joy by donating good books.
www.tamanbacaanpelangi.com
Comments
Post a Comment