Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...
http://kogaeriko.com/ |
Ketika kita
masih belia, jatuh cinta itu berjutaaa rasanya. Masa-masa identifikasi diri dan
menemukan arti diri lewat penilaian orang lain, kalau boleh menyamaratakan. Ketika
ada lawan jenis yang memberikan perhatian lebih, seolah diri lebih bermakna.
Hidup lebih indah berwarna kadang rasanya seperti melayang, jarak menjadi tidak
penting lagi, waktu bagaikan pembunuh nomor satu ketika berpisah. Di dunia ini,
pembicaraan yang paling dominan masih seputaran percintaan dan kematian
(seringkali dideskripsikan sangat menyeramkan).
Mengapa
semakin bertambah umur, gejolak rasa yang dulu begitu kuat rasanya semakin
berkurang seiring bertambahnya usia? Ada yang bilang, wah itu tanda-tanda
frigid tuh. Ternyata jawabannya (untuk sementara) adalah semakin belia usia
kita, referensi pengalaman hidup kita masih sangat terbatas, dan melihat segala
sesuatunya dengan sangat sederhana, kalau bukan naif. Dan banyak hal yang
terlihat sangat menakjubkan.
Bila ada
yang dapat mengingat mengecap rasa masam untuk pertama kalinya ketika balita,
mungkin bisa membantu kita untuk menjelaskan. Pengalaman-pengalaman pertama selalu membekas
karena akan sangat berfungsi dalam hal survival. Bau-bauan, rasa, emosi, reaksi
alergi terkait dengan kepentingan diri akan keamanan, kenyamanan, keselamatan
diri kita. Pengalaman pertama seringkali dijadikan sebagai referensi bagaimana
harus bereaksi, namun seiring dengan bertambahnya pengalalaman, setiap orang
yang belajar akan dapat lebih mudah memperbaiki reaksi dan antisipasi.
Kembali ke
pertanyaan sebelumnya, mengapa semakin bertambah umur kebanyakan manusia terlihat
cenderung tidak “bergairah” lagi untuk urusan percintaan. Kalau melihat kakek
nenek kita, atau bahkan orang tua kita, mereka terlihat seperti dua sahabat
lama, atau dua musuh dalam satu selimut. Apakah mereka sudah tidak cinta lagi
terhadap satu sama lainnya? Cinta mereka berkembang kearah yang lebih dewasa, tidak
lagi sempit, seolah dunia hanya cukup
untuk dua orang saja. Cinta yang mereka milikipun lebih besar dan lebih luas
lagi, seperti layaknya sang ibu yang rela memberikan ginjalnya untuk sang anak
atau suaminya. Sang ibu yang rela menghadapi maut demi buah hatinya. Sang kakek
yang rela menunggu giliran memakai gigi palsu dengan sang nenek untuk mengunyah
makanan.
Cinta
pasangan-pasangan tua lebih mampu melihat realita, bukan semata ilusi anak
ingusan. Entah ketika melihat realita pasangan akan semakin menjauh atau
mendekat, sangat tergantung dengan selekat apa ilusi kekanak-kanakan mereka dan
seberapa jauh masing-masing pasangan memahami dirinya sendiri. Mengapa disebut
ilusi, karena sering kali pengalaman hidup yang terjadi di masa lalu dijadikan
sebagai “realita” masa kini, yang dipaksakan, yang seharusnya hanya dijadikan
sebagai referensi, justru diterjemahkan sebagai kenyataan saat ini, sehingga
salah reaksi, salah antisipasi terhadap permasalahan sesungguhnya. Lebih bahaya
lagi jika ilusi tersebut hanya ciptaan ego yang sifatnya hanya pemenuhan ego.
Realita
bahwa manusia sangat membutuhkan ruang untuk perkembangan jiwa pun seringkali
diabaikan, akibatnya, perasaan kesepian walaupun sudah hidup bersama pasangan
selama puluhan tahun pun dapat saja terjadi, karena terus menerus menciptakan
jarak dengan diri yang hakiki. Kebosanan, perasaan terisolasi, tersakiti akan menjadi
makanan sehari-hari jika keduanya hanya mempertahankan kebersamaan semata. Suka
atau tidak suka, memiliki pasangan yang burukpun tidak bisa dianggap hal buruk,
jika ada pembelajaran yang mampu diraih di dalamnya. Apabila pasangan mampu
berdialog dengan diri yang hakiki, maka surga dunia dapat diraih. Karena itu
alangkah indahnya jika bisa melihat pasangan berumur yang bisa memelihara
kemesraan lewat cinta yang sudah melewati proses pematangan.
Comments
Post a Comment